IESR: Akses listrik hijau harus dipermudah, sekarang 37% dari PLTU captive

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan bahwa ketergantungan Indonesia pada energi berbasis batu bara akan menjadi penghalang utama bagi daya saing ekonomi di masa depan. Saat ini sektor ketenagalistrikan Indonesia masih disandera oleh penggunaan PLTU batu bara, terutama PLTU captive milik industri yang menyumbang lebih dari sepertiga total emisi listrik nasional.

Dalam konferensi Brown to Green: Unlocking Enabling Environments for Indonesia to Transition Beyond Coal, Rabu, 3 Desember, IESR memaparkan bahwa PLTU PLN berkapasitas 85 GW menghasilkan emisi mencapai 352 juta ton CO₂e pada 2024. Namun sorotan terbesar tertuju pada PLTU captive industri berkapasitas 31,1 GW, yang menyumbang 131 juta ton CO₂e, setara 37 persen dari total emisi sektor listrik nasional.

Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa terus memelihara struktur energi yang mengandalkan PLTU. “Kebijakan ini penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah serta memberikan sinyal yang jelas bagi pelaku industri, baik batu bara maupun energi terbarukan, agar mereka dapat menyiapkan strategi transisi,” ujarnya.

Deon menilai bahwa kerangka kebijakan yang ada belum cukup kuat. Walau Perpres 112/2022 telah mengatur percepatan energi terbarukan, pemerintah perlu mengambil langkah lebih jauh. “Seluruh PLTU wajib menurunkan emisi setelah beroperasi selama 10 tahun, dan seluruhnya harus berhenti beroperasi pada 2050,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa pengalaman Inggris menunjukkan transisi dari ekonomi berbasis batu bara membutuhkan rencana matang dan waktu panjang.

Jalan menuju energi hijau perlu dipermudah

IESR mendesak pemerintah membuka jalan lebih cepat untuk penggunaan energi hijau. Mekanisme penggunaan bersama jaringan transmisi (PBJT), penghapusan biaya pemasangan PLTS dan BESS, penyederhanaan perizinan, insentif fiskal, hingga pembiayaan dan penjaminan risiko proyek energi terbarukan dianggap perlu segera direalisasikan.

Untuk memperkuat upaya tersebut, IESR meluncurkan Coalradar.id, platform data interaktif yang menyajikan gambaran lengkap mengenai produksi batu bara, operasional PLTU, pendapatan negara dari sektor batubara, serta indikator kerentanan daerah. Dengan peta interaktif dan pembaruan berkala, situs ini bertujuan membantu perumusan kebijakan berbasis bukti dan mendukung pemerintah daerah dalam memahami tingkat ketergantungan ekonominya terhadap batu bara.

Platform ini turut menyediakan analisis kerentanan provinsi terhadap penyusutan industri batu bara berdasarkan tren 2010–2022. Fitur tersebut dapat menjadi titik awal bagi daerah untuk mulai menyusun strategi transisi yang realistis.

IESR menegaskan bahwa tanpa pembukaan akses listrik hijau yang mudah dan terjangkau, Indonesia berisiko kehilangan daya saing di pasar global dan menghadapi biaya transisi yang jauh lebih mahal. Emisi besar dari PLTU captive bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan industri nasional di era ekonomi rendah karbon.

Investasi dunia pada energi terbarukan, jaringan listrik, dan baterai pada 2025 telah mencapai USD 2,2 triliun, dua kali lipat dari investasi energi fosil. Mulai Januari 2026, Uni Eropa akan menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mewajibkan perusahaan eksportir ke Eropa melaporkan jejak emisinya. IESR memperkirakan mekanisme serupa akan menyebar ke lebih banyak negara karena dunia bergerak cepat menuju target Net Zero Emission (NZE). (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles