Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) memperingatkan agenda besar transisi energi nasional dihadapkan pada tantangan korupsi sistemik dan pembajakan kebijakan oleh elite politik dan bisnis. Menurut ICW, tanpa mitigasi yang kuat, transisi energi bisa berubah menjadi proyek semu yang justru memperparah ketimpangan dan merugikan kepentingan publik.
Koordinator Divisi Riset dan Advokasi ICW, Egy Primayogha, dalam diskusi publik ICW dan peluncuran mata kuliah ”Korupsi dan Transisi Energi” dari Akademi Antikorupsi, Senin, 28 Juli, mengungkapkan bahwa titik paling rawan dalam transisi energi justru berada di hulu, yakni saat pembentukan kebijakan. Dalam praktik yang disebut sebagai state capture, para elite memanfaatkan kelemahan sistemik untuk mengarahkan kebijakan energi demi kepentingan kelompok tertentu.
“Secara umum, bisnis sumber daya alam sangat rentan terhadap pembajakan oleh elite. Dalam konteks transisi energi, kita melihat bagaimana kebijakan bisa dimanipulasi demi menguntungkan kelompok bisnis dan politisi tertentu,” ujar Egy.
Ia menyoroti bahwa narasi transisi energi kini disempitkan hanya pada pengembangan kendaraan listrik. Akibatnya, eksploitasi terhadap mineral kritis seperti nikel yang menjadi bahan baku baterai meningkat drastis, sementara isu-isu penting lain seperti pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan penghapusan PLTU captive di kawasan industri justru tidak mendapat perhatian.
“Dengan sempitnya definisi transisi energi, maka orientasinya diarahkan ke sektor-sektor yang menguntungkan elite. Ini bukan transisi yang adil, tapi justru bentuk baru dari eksploitasi,” tegasnya.
ICW juga mencatat bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi dalam formulasi kebijakan, tetapi juga di tingkat pelaksanaan proyek. Sejumlah temuan menunjukkan adanya kasus korupsi dalam proyek-proyek pembangkit energi terbarukan, terutama pada pengadaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
“Pengadaan proyek energi terbarukan sering menjadi ajang bancakan karena minim transparansi dan lemahnya pengawasan. Ini berbahaya, karena seharusnya sektor ini menjadi garda depan masa depan energi bersih Indonesia,” kata Egy.
Lebih lanjut, ICW menyebut bahwa pembajakan kebijakan transisi energi diperkuat oleh upaya sistematis untuk melemahkan lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, hingga media massa dan organisasi masyarakat sipil.
“Kita melihat adanya pola pelemahan institusi-institusi yang seharusnya menjaga akuntabilitas. Ini menjadi ruang leluasa bagi para aktor koruptif untuk menguasai agenda transisi energi,” tambah Egy.
Ia menekankan pentingnya reformasi tata kelola sektor energi, termasuk transparansi dalam perencanaan dan pengadaan proyek, penguatan lembaga pengawas, serta pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan.
“Kalau tidak segera dibenahi, transisi energi hanya akan menjadi slogan. Kita akan kehilangan momentum untuk benar-benar membangun masa depan energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan,” tutup Egy. (Hartatik)
Foto banner: liyuhan/shutterstock.com