Jakarta – Forest Watch Indonesia (FWI) menyerukan evaluasi ulang terhadap kebijakan biomassa sebagai bagian dari strategi bauran energi terbarukan Indonesia. Manajer Kampanye dan Advokasi FWI, Anggi Putra Prayoga mengkritik target bauran energi terbarukan yang dianggap tidak realistis dan memperingatkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan.
Menurut Prayoga, realisasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan. “Pada tahun 2023, realisasi EBT hanya mencapai 12,5 persen, jauh di bawah target 17,9 persen,” ujarnya, Kamis, 1 Agustus.
Pemerintah Indonesia berencana menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23 persen pada tahun 2025 menjadi 19 hingga 22 persen, sesuai dengan perubahan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang tengah dibahas.
“Di balik penurunan target ini, biomassa muncul sebagai salah satu prioritas utama untuk mencapai target yang lebih rendah,” lanjut Prayoga.
Namun, tren pertumbuhan EBT yang sangat lambat, hanya 0,1 persen dari 2021 ke 2022 dan 0,2 persen dari 2022 ke 2023, menunjukkan bahwa Indonesia mungkin gagal mencapai target bauran energi 23 persen pada 2025.
Sebagai solusi, biomassa ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah energi surya dalam RPP KEN. Biomassa yang mencakup kayu, limbah pertanian, dan produk olahan kayu dianggap sebagai alternatif energi terbarukan yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, Prayoga menyuarakan kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan dari proyek biomassa ini.
“Potensi biomassa di Indonesia terlihat menggiurkan dengan luas areal yang sangat besar – 5 juta hektar untuk hutan tanaman industri dan 15,3 juta hektar untuk kelapa sawit,” kata Prayoga.
Tetapi, lanjutnya, pemanfaatan biomassa secara masif dapat mendorong konversi lahan hutan yang lebih luas, meningkatkan deforestasi, dan memperburuk ketimpangan penguasaan lahan.
Anggi menegaskan bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan harus menimbang kembali kebijakan biomassa ini.
“Apakah benar-benar bisa menjadi solusi energi yang berkelanjutan, atau justru akan menambah masalah lingkungan yang sudah ada?” tanyanya.
Dengan adanya potensi dampak negatif terhadap hutan dan lingkungan, FWI mendesak agar kebijakan biomassa dievaluasi kembali secara komprehensif.
“Kebijakan ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan energi terbarukan dan perlindungan lingkungan,” tutup Prayoga. (Hartatik)