ESDM: Transisi energi harus ciptakan proyek nyata dan lapangan kerja

Jakarta — Transformasi menuju energi bersih tak cukup hanya digaungkan lewat narasi besar. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, menegaskan bahwa transisi energi harus diwujudkan melalui aksi nyata yang menciptakan nilai ekonomi, terutama dalam bentuk lapangan kerja.

“Kalau tidak ada proyek, maka tidak ada pekerjaan. Sesederhana itu,” tegas Prahoro saat berbicara dalam sesi diskusi Energi Mineral Festival 2025 yang disiarkan secara streaming, Kamis, 31 Juli. Menurutnya, membangun narasi transisi energi tanpa eksekusi hanya akan menjadi ilusi.

Ia mencontohkan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) oleh New Wheel yang terkendala akibat minimnya tenaga kerja terampil. “Mencari teknisi instalasi panel surya yang kompeten itu masih sulit. Ini menunjukkan bahwa SDM kita belum sepenuhnya siap untuk masuk ke sektor ini,” ujar Prahoro.

Masalah tenaga kerja menjadi krusial karena transisi energi bukan hanya tentang penggantian sumber energi fosil, tetapi juga transformasi sosial dan ekonomi. BPSDM ESDM mencatat ada 3.764 jenis pekerjaan yang muncul di sektor energi, termasuk subsektor energi hijau. Namun, hanya 487 pekerjaan yang benar-benar baru, sisanya adalah pekerjaan lama yang memerlukan peningkatan kompetensi sesuai tantangan baru.

Dari total 140 juta angkatan kerja Indonesia, hanya sekitar 34 juta orang memiliki pendidikan vokasional, dan sekitar 15 juta lulusan S1 atau lebih tinggi.

“Padahal kita sekarang berada dalam masa demographic window yang akan mencapai puncaknya di 2030 — hanya lima tahun lagi. Kalau tidak dimanfaatkan, kesempatan ini akan hilang,” ujar Prahoro memperingatkan.

Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, industri, institusi pendidikan, dan media—untuk mendorong percepatan penyiapan SDM transisi energi. Kurikulum pendidikan dan program pelatihan, menurutnya, harus selaras dengan kebutuhan kompetensi industri energi masa depan, khususnya di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).

“Peta kebutuhan kerja dan kompetensi sudah kami siapkan. Tinggal bagaimana universitas dan lembaga pelatihan bisa memanfaatkan dan menyesuaikan dengan cepat. Ini perlombaan dengan waktu,” tegasnya.

Skema sertifikasi dan pelatihan yang tepat juga menjadi kunci. Tanpa tenaga kerja yang siap, proyek-proyek EBT bisa tertunda atau bahkan gagal terealisasi, sehingga potensi penciptaan lapangan kerja dan investasi ikut hilang.

Prahoro menyimpulkan bahwa keberhasilan transisi energi nasional sangat ditentukan oleh sejauh mana negara mampu membangun fondasi SDM yang kuat.

“Narasi bagus, tapi kalau tidak melahirkan proyek dan kerja nyata, maka kita hanya mengulang kesalahan lama: banyak bicara, minim hasil,” pungkasnya. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles