Jakarta – Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, tahun ini, Indonesia tidak lagi sekadar menjadi peserta dalam forum iklim dunia. Delegasi Indonesia mengatakan mereka datang dengan misi besar: memperkuat kepemimpinan diplomasi iklim global melalui empat pilar utama yang menjadi arah perjuangan negosiasi.
Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangannya, Rabu, 12 November, menegaskan bahwa kehadiran Indonesia kali ini bukan untuk “meramaikan” forum, tetapi memastikan setiap keputusan internasional berpihak pada kepentingan negara berkembang dan rakyat yang paling terdampak perubahan iklim.
“Kami tidak datang untuk meramaikan, kami datang untuk berunding. Setiap pasal yang dinegosiasikan akan berdampak pada rakyat dan lingkungan kita,” tegas Hanif.
Ia menjelaskan, dari tujuh agenda negosiasi yang diusung delegasi Indonesia, terdapat empat pilar utama yang menjadi fokus perjuangan di COP30. Keempatnya diyakini akan menentukan arah kebijakan iklim global sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin di kawasan Global South.
Pertama, Global Stocktake (GST). Indonesia mendorong evaluasi yang adil terhadap komitmen negara-negara maju dalam memenuhi janji pendanaan dan transfer teknologi. “Intinya, kami ingin negara maju bertanggung jawab secara historis, bukan hanya sekadar menilai capaian teknis mitigasi,” kata Hanif.
Kedua, National Adaptation Plans (NAPs). Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap krisis iklim, Indonesia menuntut adanya mekanisme pendanaan adaptasi yang transparan dan mudah diakses. Dana ini diharapkan dapat membiayai proyek-proyek nyata, seperti perlindungan pesisir, ketahanan pangan, serta pengelolaan sumber daya air.
Ketiga, Just Transition atau Transisi yang Berkeadilan. Indonesia menekankan pentingnya memastikan transisi menuju ekonomi hijau tidak meninggalkan kelompok rentan, termasuk pekerja di sektor energi fosil dan industri tradisional. Pemerintah mendorong skema pelatihan ulang (reskilling) dan penciptaan lapangan kerja hijau baru.
Keempat, Global Goal on Adaptation (GGA). Indonesia mengusulkan penetapan target adaptasi global yang terukur, setara dengan target mitigasi pemanasan global 1,5°C. “Dengan target yang jelas, dunia dapat memobilisasi sumber daya secara efektif untuk memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim,” ujar Hanif.
Hanif menambahkan, keberhasilan diplomasi Indonesia di COP30 tidak hanya berdampak pada posisi politik Indonesia di dunia, tetapi juga menentukan dukungan internasional yang akan diterima dalam pelaksanaan agenda iklim di dalam negeri.
Empat pilar utama tersebut melengkapi tiga agenda teknis lain yang juga diusung delegasi Indonesia, seperti pendanaan iklim, mekanisme pasar karbon, dan kerja sama teknologi bersih.
“Perundingan ini akan menjadi ujian kepemimpinan iklim Indonesia. Kami ingin menunjukkan bahwa negara berkembang pun mampu menjadi penggerak solusi global, bukan sekadar penerima dampak,” tutup Hanif. (Hartatik)
Foto banner: Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq bersama Delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil 10 November 2025. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup.


