Jakarta – Think tank energi global, Ember, mengingatkan bahwa kondisi geopolitik global yang tengah memanas, terutama dipicu oleh kebijakan tarif besar-besaran dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, berpotensi menggeser peta kebutuhan energi dunia. Ketidakpastian pasar energi akibat perang dagang membuat negara-negara mulai meninjau kembali strategi ketahanan energinya, dengan energi terbarukan muncul sebagai solusi yang semakin relevan.
Laporan dengan penulis utamanya Euan Graham, Analis Listrik dan Data Ember, Selasa, 8 April mengatakan bahwa saat ini negara-negara lebih memikirkan keamanan dan ketahanan energi mereka daripada sebelumnya. Dalam konteks ini, tenaga terbarukan dalam negeri seperti angin dan matahari menjadi semakin menarik.
Dalam Laporan Global Electricity Review 2025 yang diterbitkan Ember, tenaga surya menjadi motor utama dalam transisi energi. Pada 2024, energi surya mencetak rekor baru, menyumbang pertumbuhan pembangkitan listrik terbesar dibandingkan sumber energi lain. Kapasitas pembangkitan dari tenaga surya telah meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, menyumbang 6,9% dari total produksi listrik dunia.
Pertumbuhan pesat ini terjadi di tengah lonjakan permintaan listrik global sebesar 4,1%, dipicu oleh meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan, pusat data, kendaraan listrik, serta pompa panas. Selain itu, gelombang panas ekstrem yang melanda berbagai kawasan turut mendorong konsumsi listrik untuk pendingin udara, mengakibatkan sedikit peningkatan penggunaan bahan bakar fosil.
Meski demikian, pembangkit listrik rendah karbon—termasuk energi terbarukan dan nuklir—berhasil menyumbang 40,9% dari total produksi listrik global, atau sekitar 12.609 TWh pada 2024. Ini merupakan level tertinggi sejak 1940-an. Energi air menyumbang 14,3%, diikuti nuklir 9%, angin 8,1%, dan surya 6,9%.
Laporan Ember mengataka bahwa saat ini terdapat dua megatren yang akan mendominasi sistem kelistrikan global: peningkatan eksponensial tenaga surya dan pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi akibat elektrifikasi sektor ekonomi.
Dinamika geopolitik seperti perang dagang membuat energi bersih makin menarik secara strategis. Tarif dan hambatan perdagangan mendorong negara-negara untuk memproduksi energi secara domestik demi menekan ketergantungan impor. Energi surya dan angin, yang dapat dibangun lokal dengan dukungan kebijakan, menjadi pilihan ideal.
Phil MacDonald, Managing Director Ember, mengatakan pada Mother Jones, bahwa tenaga surya telah menjadi kekuatan tak terbendung dalam memenuhi kebutuhan listrik dunia.
“Dalam kombinasi dengan teknologi penyimpanan seperti baterai, tenaga surya menjadi solusi utama untuk kebutuhan masa depan. Teknologi bersih kini menjadi motor pembangunan ekonomi,” ujarnya.
Dengan tren ini, dunia kemungkinan besar akan menyaksikan penurunan berkelanjutan pembangkitan listrik dari bahan bakar fosil. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok dan India yang dulunya mengandalkan batu bara kini mempercepat investasi di energi terbarukan, seiring lonjakan permintaan domestik.
“Kita telah memasuki era di mana energi terbarukan bukan lagi sekadar pilihan lingkungan, melainkan kebutuhan strategis dan ekonomis,” pungkas Graham. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock