
Jakarta – Efisiensi energi menjadi tantangan dalam mewujudkan emisi nol bersih di Indonesia yang ditargetkan tercapai pada 2060, terutama pada bangunan komersial dan industri. Sebab emisi gas rumah kaca disumbang CO2 yang digunakan dari bahan bakar fosil dan industri.
Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan/Electric Vehicle/Circular Economy Kamar Entrepreneur Indonesia Mada Ayu Habsari menuturkan, salah satu tantangan yang dihadapi saat ini dalam penerapan efisiensi energi ialah masih banyak orang tidak tahu pentingnya hal itu. Apalagi, dengan merasa mampu membayar listrik, sejumlah pihak berpikir sederhana serta untuk jangka pendek, bukan untuk kepentingan masa depan. Tantangan lainnya ialah Indonesia belum mempunyai regulasi terkait efisiensi energi.
”Bagi pihak swasta, jika satu kegiatan bisnis tidak diregulasi dengan baik, kami khawatir apakah program ini dilihat pemerintah atau tidak. Efisiensi energi ini potensi besar untuk NZE (emisi nol bersih). Tetapi bagaimana mau banyak menyuarakan hal ini jika regulasinya tak dibuat,” tutur Mada dalam webinar ”Upaya Penerapan Konservasi Energi dan Efisiensi Energi dalam Mendukung Transisi Energi” yang digelar Chakra Giri Energi Indonesia, Selasa (24/5).
Wakil Ketua Asosiasi Tenaga Surya Indonesia (AESI) ini menambahkan, rendahnya tarif listrik di Indonesia juga turut memengaruhi efisiensi energi. Saat ini, penerapan subsidi masih dilakukan pada skala tertentu, sehingga tarif listrik sebenarnya atau sesuai harga keekonomian belum tercermin dan membuat orang cenderung ”santai” dalam penggunaan listrik.
”Jika kemarin disebut akan ada kenaikan tarif listrik, saya pikir efisiensi energi nantinya akan jadi salah satu primadona karena semua orang akan berlomba-lomba melakukan penghematan,” kata Mada, yang juga pendiri PT Enertec Mitra Solusi, perusahaan yang bergerak dalam bidang energi terbarukan dan efisiensi energi.
Mada mengemukakan, pihaknya, yang mendapat dana hibah dari luar negeri, akan membangun ekosistem efisiensi energi di Indonesia dalam upaya menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Di sisi lain, ia juga mendorong pemerintah memberi insentif agar berbagai pihak bersemangat mendukung itu serta membuat satu proyek percontohan dalam efisiensi energi agar dapat ditiru para pelaku lain.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cuk Supriyadi Ali Nandar mengatakan, secara global, 65 persen atau terbesar, emisi gas rumah kaca disumbang CO2 yang digunakan dari bahan bakar fosil dan industri. Sementara dari gas metana 16 persen dan CO2 dari pertanian dan kehutanan sebesar 11 persen.
Cuk menuturkan, sebagai pusat riset konservasi energi, pihaknya antara lain melayani audit energi, manajemen energi, AC testing lab, serta pengujian emisi udara, dan kinerja alat kontrol polusi. Lewat audit energi, dapat dilakukan identifikasi area dengan potensi penghematan, yang kemudian juga dapat dianalisis secara komprehensif dalam rangka peningkatan efisiensi energi yang membutuhkan pendanaan besar. (Hartatik)
Foto banner: Utomo SolaRUV