Dari desa ke media sosial, cara generasi milenial lestarikan Nasi Leye (2/3)

Menghapus stigma “makanan orang susah” sebagai simbol ketahanan pangan

oleh: Hartatik

Wonosobo – Suara denting sendok beradu dengan wajan terdengar lirih dari dapur lantai dua rumah sederhana di Dusun Pasunten. Di ruang pengeringan, Siti Maryam (55), yang akrab disapa Maria Bo Niok, tampak tekun membolak-balik butiran tepung singkong.

“Kalau begini, cepat keringnya. Nanti bisa langsung diproses jadi tiwul instan,” ujarnya sembari menyeka keringat di dahi.

Lebih dari satu dekade, Maria Bo Niok mengabdikan hidupnya untuk satu misi sederhana tapi berarti yakni mengangkat derajat leye dan tiwul—dua pangan lokal berbasis singkong yang dulu dianggap makanan kelas pinggiran.

Di tangan Maria Bo Niok, leye dan tiwul bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita tentang martabat, perjuangan, dan mimpi besar dari sebuah desa di Wonosobo yang ingin menorehkan jejak di panggung dunia.

Maria masih ingat betul masa kecilnya. Leye, nasi singkong yang dimasak ibunya, kerap jadi bahan olokan.

“Makan leye itu dianggap makanan orang susah,” kenangnya.

Stigma itu terus menempel bahkan hingga dewasa. Namun, hidup membawanya pada titik balik. Selepas menjadi buruh migran, ia kembali ke desa dengan tekad kuat. Ia melihat hasil panen singkong petani kerap dihargai rendah, hanya Rp700/kg di tengkulak.  “Padahal singkong itu emas kalau diolah dengan benar,” katanya.

Siti Maryam memperlihatkan aneka varian rasa tiwul instan di rumah produksinya di Desa Lipursari Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. (Hartatik)

Lahirnya inovasi tiwul instan

Tahun 2008, Maria memulai eksperimen sederhana dengan mengolah singkong jadi leye dan tiwul. Tak berhenti di situ, ia mencoba menjadikannya produk instan dengan varian rasa—dari pandan, gula aren, hingga ubi ungu. Perjalanan itu tidak mudah.

“Butuh dua tahun untuk menemukan formula agar tiwul instan tahan lama,” ucapnya.

Kerja keras itu berbuah manis. Kini, produk “Tiwul Instan Mari” kerap dipesan hingga mancanegara. Buruh migran di Hong Kong dan Malaysia jadi pelanggan setia, bahkan ada pesanan rutin dari Jakarta untuk dikirim ke Abu Dhabi.

“Dulu orang malu makan leye, sekarang ada yang komentar, ‘jual tiwul kok harganya kayak jual emas’,” Maria terkekeh.

Usaha Maria tak sekadar soal bisnis. Ia juga membentuk kelompok tani Martani, mengajak lebih dari 20 petani singkong untuk ikut mengolah hasil kebunnya. Harga singkong yang ia bayarkan pun jauh lebih tinggi dari tengkulak yakni Rp2.000/kg.

“Ada petani yang sampai kirim 4 ton gaplek, bilang dibayar belakangan pun nggak masalah. Mereka percaya,” katanya lirih.

Kini, singkong bukan lagi sekadar komoditas murah. Ia menjelma menjadi sumber penghidupan, kebanggaan, sekaligus simbol ketahanan pangan lokal.

Dari desa ke dunia

Produk tiwul instan Maria sudah dipasarkan di pusat perbelanjaan kota-kota besar, bahkan sempat dipajang di Bandara Soekarno Hatta. Varian rasa yang unik membuatnya diterima pasar modern.

Obsesi Maria kini sederhana tapi ambisius, menghadirkan tiwul instan dalam kemasan sachet yang bisa dijual di warung kecil hingga pasar internasional.

“Kalau mie instan bisa mendunia, kenapa tiwul nggak bisa?” katanya penuh percaya diri.

Meski berasal dari generasi yang lebih tua, semangat Maria memberi inspirasi besar bagi generasi milenial desanya. Ia sering mengajak anak muda belajar mengolah singkong, mengemas produk, bahkan menjualnya lewat marketplace.

“Anak-anak muda jangan malu dengan makanan kampungnya. Justru mereka yang harus jadi garda depan melestarikan,” pesannya.

Dari sisi kesehatan, nasi leye maupun tiwul memiliki aneka kandungan gizi. Bahkan sangat cocok sebagai makanan alternatif untuk diet dan penderita diabetes. Berdasarkam hasil uji laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan Jawa Tengah pada 100 gram nasi leye terkandung karbohidrat 80 gram, protein 1,5 gram, lemak 0,3 gram, kalsium 33 mg, fosfor 61 mg. 

Sementara itu, mengutip jurnal penelitian Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip berjudul Pola Kelembagaan Rumah Tangga dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Giyombong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo bahwa kandungan yang sangat dibutuhkan oleh manusia adalah karbohidrat dengan jumlah 80 gram per 100 gram leye. 

Sedangkan berdasarkan analisis kesehatan, manusia membutuhkan 2 gram karbohidrat per kilogram berat badannya. Misalkan berat badan manusia itu 70 kg maka membutuhkan 140 gram karbohidrat dalam waktu sehari. Sementara setiap rumah tangga dalam penelitian itu menghidangkan leye dalam kesehariannyasebanyak satu bakul dengan konsumsi setiap individu satu piring dengan perkiraan 200 gram, sehingga satu porsi makan masyarakat sudah menampung 160 gram karbohidrat untuk memenuhi kegiatan sehari-harinya.

Sedangkan kandungan gizi lainnya seperti vitamin A, protein, lemak, kalsium dan fosfor merupakan kandungan gizi sebagai pelengkap dan mampu didapatkan pada bahan makanan lainnya selain dari makan leye.

Stagnan

Meski konsumsi nasi leye masih bertahan hingga kini, namun pengembangan bahan pangan lokal ini cenderung stagnan. Mutmainah adalah salah satu produsen leye dan aneka produk olahan singkong yang aktif di Kaliwiro, Wonosobo. Anggota Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) dan Kelompok Wanita Tani (KWT) sejak 2010 ini mengungkapkan, jika produk pangan lokalnya belum mendapat dukungan dengan serius oleh dinas terkait.

“Saya pernah mengusulkan agar dinas menggunakan produk pangan lokal, misalnya tepung mokaf, sebagai bahan baku jajanan. Namun sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Jadi, kami baru bisa memproduksi kalau ada acara atau perlombaan tertentu saja,” ujarnya.

Menurut Badan Ketahan Pangan, singkong merupakan pangan dengan kandungan serat makanan yang tinggi serta memiliki indeks glikemik yang rendah yang sangat baik dikonsumsi untuk menghindari penyakit diabetes.

Menukil dari Buku Diversifikasi Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang ditulis oleh Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Tyas Sekartiara Syafani, bahwa preferensi merupakan salah satu faktor yang turut berperan dalam membentuk pola konsumsi pangan olahan singkong. Untuk meningkatkan preferensi masyarakat terhadap pangan lokal, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan yang mendukung produksi, distribusi, dan konsumsi pangan lokal.

Inisiatif seperti label pangan lokal, program pendidikan dan promosi, insentif pajak, dan dukungan keuangan untuk petani dan produsen lokal dapat membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pangan lokal.

Baca bagian sebelumnya: https://tanahair.net/id/dari-desa-ke-media-sosial-cara-generasi-milenial-lestarikan-nasi-leye-1-3/

Lanjutkan membaca ke bagian 3: https://tanahair.net/id/dari-desa-ke-media-sosial-cara-generasi-milenial-lestarikan-nasi-leye-3-3/

Foto banner: Keluarga Fitriyah bersama-sama menikmati sepiring leye dalam suasana akrab. (Hartatik)

“Liputan ini merupakan bagian dari Beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025″ yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.”

 

 

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles