Jakarta – Kelompok kampanye 350.org Indonesia mengatakan bahwa draft Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang dikeluarkan Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) ini tidak mencerminkan keadilan iklim.
Firdaus Cahyadi, Communication Specialist dari 350.org Indonesia menyoroti salah satu kelemahan CIPP terkait keadilan iklim, yaitu ketiadaan skema pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. “Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dapat membuka akses listrik bagi warga miskin, terutama yang berada di daerah terpencil. Apalagi hak atas energi atau listrik merupakan bagian dari hak atas pembangunan, dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Dikatakan Firdaus: “CIPP tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip tersebut.”
Ketidakadilan iklim juga terlihat dalam komposisi pendanaan JETP yang tertuang dalam CIPP. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik menyatakan bahwa komposisi pendanaan JETP didominasi oleh utang luar negeri.
Ia mengingatkan bahwa mobilisasi pendanaan ini dapat menjadi jebakan utang baru bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan dalih “transisi energi.”
Maulana menegaskan bahwa Indonesia sebagai penerima dana JETP seharusnya berhati-hati terhadap mekanisme pendanaan ini. Ia mencatat bahwa negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) memberikan pendanaan dalam bentuk utang sebesar 6.936,5 juta USD, sedangkan dana hibahnya hanya sebesar USD 292 juta. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi hibah hanya 2,5%, sementara sisanya 97,5% adalah utang.
“Motif sebenarnya dari negara-negara maju mungkin tidak sepenuhnya serius dalam melakukan transisi energi berkeadilan, melainkan lebih cenderung menjebak negara-negara berkembang melalui utang luar negeri,” imbuh Maulana. (Hartatik)