Jakarta – Menurut, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, Indonesia perlu mengalihkan fokusnya ke mekanisme New Collective Quantified Goal (NCQG) untuk mendapatkan pembiayaan yang lebih fleksibel dan tidak membebani fiskal.
“NCQG memberikan peluang untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tanpa bergantung sepenuhnya pada utang. Ini penting untuk menjaga ruang fiskal yang sehat,” kata Bhima dalam keterangan resmi, Senin, 25 November.
Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP 29 di Baku, Azerbaijan, memutuskan target pembiayaan iklim baru senilai 300 miliar USD per tahun melalui mekanisme NCQG. Skema ini diharapkan menjadi alternatif yang lebih baik bagi negara berkembang dibandingkan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dinilai terlalu membebani anggaran.
Bhima menambahkan bahwa pendanaan berbasis hibah atau mekanisme penghapusan utang dapat digunakan untuk mempercepat transisi energi. “Misalnya, NCQG bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan proyek energi terbarukan seperti tenaga surya, mikro hidro, angin, dan pengembangan teknologi penyimpanan energi,” jelasnya.
Tantangan implementasi NCQG
Meskipun pembiayaan NCQG membuka peluang besar, skema ini masih jauh dari mencukupi. Berdasarkan perhitungan draf NCQG, kebutuhan negara berkembang untuk memenuhi target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) mencapai USD 5–6,8 triliun hingga 2030. Hal ini menunjukkan bahwa pendanaan yang disepakati sebesar USD 300 miliar per tahun masih berada di bawah kebutuhan.
Bhima menyoroti pentingnya memastikan transparansi dalam mekanisme pendanaan NCQG. “Kita harus memastikan bahwa pendanaan baru ini benar-benar realisasi baru, bukan klaim ulang dari program yang sudah ada sebelumnya,” tegas Bhima.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono. Ia mengingatkan bahwa porsi antara hibah dan utang dalam pendanaan NCQG perlu diawasi ketat. “Idealnya, hibah harus mendominasi pendanaan NCQG untuk benar-benar membantu negara berkembang. Jika proporsi utang terlalu besar, itu justru akan memperparah beban keuangan negara-negara seperti Indonesia,” katanya.
Agung menambahkan bahwa pembiayaan iklim harus menjadi bukti nyata dari komitmen negara maju untuk membantu negara-negara yang terdampak krisis iklim. “Tanpa dukungan nyata, transisi energi yang adil dan berkelanjutan akan sulit tercapai,” imbuhnya.
Skema JETP, yang sebelumnya menjadi rujukan pembiayaan transisi energi, dinilai kurang fleksibel karena sebagian besar berbentuk pinjaman. Dengan mekanisme NCQG, Indonesia dapat mengakses sumber pendanaan yang lebih bervariasi dan mendukung pembangunan hijau tanpa menambah beban utang.
“Ini adalah momen bagi Indonesia untuk meninjau ulang strategi pendanaan iklim dan beralih ke pendekatan yang lebih menguntungkan. Dengan dukungan NCQG, Indonesia bisa memimpin dalam menciptakan solusi iklim yang nyata dan berkelanjutan,” tutup Bhima. (Hartatik)