Ancaman krisis pangan dan air mengintai akibat perubahan iklim, PDB terancam turun

Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengatakan dampak perubahan iklim kini kian nyata dan mulai mengancam stabilitas ekonomi nasional. Tidak hanya menimbulkan cuaca ekstrem, kenaikan suhu global diperkirakan akan menekan produktivitas pertanian, mengurangi ketersediaan air, hingga menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam beberapa dekade ke depan.

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLH, Franky Zamzani, dalam Konsultasi Publik Penyusunan Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptation Plan/NAP) yang digelar daring, Jumat, 30 Oktober, mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah bergeser dari isu lingkungan menjadi persoalan ekonomi nasional yang kompleks.

“Berbagai kajian menunjukkan, dampak perubahan iklim berpotensi menurunkan kinerja ekonomi nasional di sejumlah sektor strategis seperti pangan, air, energi, dan kesehatan,” ujarnya.

Franky menjelaskan, sektor pangan menjadi yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan produktivitas padi dan jagung turun rata-rata 0,92 persen per tahun, dengan kerugian lahan tanam mencapai 4,3 juta hektare pada 2050.

“Buah dan sayur berpotensi mengalami penurunan produksi 5–7 persen, sementara sektor perkebunan bisa turun hingga 9 persen,” paparnya.

Penurunan tersebut bukan sekadar ancaman bagi ketahanan pangan, tetapi juga bagi perekonomian nasional. Secara agregat, kerugian di sektor pangan dapat mengurangi PDB antara 0,18 hingga 1,26 persen.

Krisis air semakin dekat

Selain pangan, krisis air menjadi ancaman serius lain akibat perubahan iklim. Ketersediaan air diperkirakan turun hingga 27 persen, terutama di wilayah padat penduduk dan kawasan pertanian utama. Penurunan itu setara dengan kehilangan 5,5 juta hektometer kubik air per tahun. “Jika tidak diantisipasi, penurunan ketersediaan air ini bisa menggerus PDB nasional sekitar 0,43 persen,” ujar Franky.

Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik sumber daya air, memperburuk irigasi pertanian, serta menghambat sektor industri dan energi yang bergantung pada pasokan air.

Perubahan iklim juga berimplikasi luas terhadap kesehatan masyarakat. Perubahan pola curah hujan dan suhu dapat memperluas wilayah persebaran penyakit endemik seperti malaria, termasuk di daerah yang sebelumnya bebas dari penyakit tersebut.

Sementara di sektor energi, peningkatan suhu ekstrem dapat memperbesar kebutuhan listrik untuk pendingin udara, sekaligus menambah risiko kerusakan infrastruktur pembangkit akibat cuaca ekstrem.

Rencana adaptasi nasional jadi panduan utama

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon (PPITKNEK) KLH, Ary Sudijanto, menjelaskan bahwa penyusunan Rencana Adaptasi Nasional (NAP) telah dimulai sejak Mei 2025. Dokumen ini akan menjadi panduan strategis Indonesia untuk memperkuat ketahanan iklim lintas sektor.

“Dalam waktu kurang dari enam bulan, kami menyusun draf yang melibatkan banyak pihak — kementerian, lembaga, akademisi, masyarakat sipil, hingga kelompok rentan, pemuda, dan anak-anak,” katanya.

Konsultasi publik yang digelar pada Jumat lalu menjadi tahap akhir sebelum dokumen resmi diserahkan ke Sekretariat UNFCCC pada November mendatang. Hingga saat ini, baru 68 negara di dunia yang telah menyerahkan Rencana Adaptasi Nasional mereka.

Ary menegaskan, NAP berfungsi sebagai kerangka kebijakan adaptasi nasional untuk memanfaatkan sumber daya dan pendanaan global dalam memperkuat ketahanan masyarakat serta ekosistem terhadap perubahan iklim.

“Indonesia tidak hanya berkomitmen menurunkan emisi, tetapi juga meningkatkan ketahanan iklim sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

NAP juga akan mengintegrasikan berbagai dokumen strategis seperti Pembangunan Berketahanan Iklim Bappenas, kebijakan adaptasi sektor kesehatan dari Kementerian Kesehatan, serta peta jalan adaptasi iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles