Jakarta – Para pemangku kepentingan ingatkan bahwa investor global memandang keterlambatan Indonesia dalam mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebagai sinyal negatif. Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa di tengah tren percepatan transisi energi dan pengetatan standar lingkungan internasional, ketidaktegasan pemerintah dalam mengakhiri operasi PLTU berpotensi membuat arus investasi baru enggan masuk.
Dalam Brown to Green Conference: Unlocking Enabling Environments for Indonesia to Transition Beyond Coal yang digelar 2–3 Desember 2025, IESR kembali menekankan bahwa pasar global tidak lagi toleran terhadap ketergantungan batu bara. Tanpa jadwal pensiun PLTU yang jelas dan dipercepat, Indonesia berisiko tertinggal dalam kompetisi ekonomi regional, sementara negara-negara yang berhasil mengurangi ketergantungan pada batu bara kini menjadi tujuan utama investasi ramah lingkungan yang volumenya terus meningkat.
Pemerintah sejatinya telah membatasi pembangunan PLTU baru melalui Perpres No. 112/2022, namun masih membuka celah bagi proyek-proyek tertentu seperti kawasan industri, proyek strategis nasional, dan rencana lama. Regulasi ini kini direvisi, tetapi tanpa disertai langkah konkret menuju penghapusan PLTU sebelum 2050—atau bahkan sebelum 2040 sesuai arahan Presiden Prabowo—Indonesia dinilai berisiko kehilangan momentum.
IESR menyebut bahwa solusi transisi yang sudah tersedia, antara lain adalah melalui operasi PLTU secara fleksibel pada unit-unit yang masih relatif muda. Pengoperasian dengan faktor kapasitas 40–65% memungkinkan PLN menekan biaya pembangkitan, sementara kekurangan pasokan dapat dipenuhi energi surya yang biaya investasinya terus menurun.
Selain itu, infrastruktur PLTU dapat dikonversi menjadi pembangkit panas bumi. Kajian konsorsium yang melibatkan IESR, Purnomo Yusgiantoro Centre, UGM, Universitas Brawijaya, Project InnerSpace, dan Geoenergies menunjukkan potensi panas bumi Indonesia mencapai 2.160 GW, termasuk teknologi generasi baru yang memanfaatkan formasi batuan panas di kedalaman lebih dari 3.000 meter.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, menilai bahwa fleksibilitas operasi PLTU menjadi kunci integrasi energi terbarukan dalam skala besar.
“Dengan acuan harga batu bara internasional, pengurangan jam operasi PLTU justru dapat menghemat biaya. Celah energinya bisa digantikan PLTS,” ujarnya, Kamis, 26 November.
Namun tantangan tak hanya berasal dari sistem PLN. Pembangkit listrik captive—yang berada di luar jaringan PLN dan banyak digunakan industri hilirisasi—juga semakin bergantung pada PLTU batu bara. IESR menilai pemerintah harus mendorong pemilik aset captive beralih ke energi terbarukan di lokasi mereka, atau membuka opsi penyaluran listrik rendah karbon dari jaringan PLN.
Dari sisi sumber energi alternatif, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menekankan besarnya peluang panas bumi sebagai penyedia listrik dan panas industri rendah karbon. Menurutnya, banyak industri membutuhkan panas di bawah 200 derajat Celsius—kebutuhan yang dapat dipenuhi langsung dari panas bumi, namun pemanfaatannya masih sangat minim.
“Indonesia punya pengalaman panjang di sektor migas. Kompetensi ini dapat mempercepat pengembangan panas bumi, yang potensinya sangat besar,” ujar Deon.
Tanpa langkah tegas untuk mempercepat pensiun PLTU, Indonesia dinilai bukan hanya mempertaruhkan target NZE 2060, tetapi juga daya tarik investasi di masa depan. Investor global semakin mencari kepastian arah transisi, dan terlambat bergerak berarti mengambil risiko kehilangan peluang ekonomi yang kian kompetitif. (Hartatik)
Foto banner: PLTU Cirebon-1. (Sumber: Cirebon Electric Power)


