
Jakarta – Pemerintah terus berupaya melaksanakan percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) agar dapat mencapai target 23% EBT pada bauran energi nasional tahun 2025. Namun sayangnya, hingga kini, akses terhadap EBT masih rendah di masyarakat.
Project Manager CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia) -IESR, Agus P Tampubolon memisalkan PLTS atap dengan harga masih di atas Rp 10 juta per kilowattpeak (kWp), Dengan harga sebesar itu, hanya masyarakat dengan penghasilan besar yang dapat memasangnya.
“Padahal bila bicara tentang akses listrik, masyarakat di luar perkotaan yang belum tersuplai listrik PLN-lah atau yang suplai listriknya masih dalam Tier-1 atau Tier-2 sesuai dengan Multi-tier Framework (MTF) Bank Dunia, yang bisa mendapat manfaat besar dari PLTS Atap ini,” ujar Agus dalam media briefing virtual CASE: Akses, Teknologi, dan Pendanaan Transisi Energi, Kamis (14/4).
Dalam mendukung proses transisi energi, CASE Indonesia mencoba mengidentifikasi dua jenis instrumen yang berfungsi sebagai alat yang relevan untuk mengatasi masalah pengembangan energi terbarukan, yaitu instrumen de-risking kebijakan, dan instrumen de-risking keuangan. Meskipun keduanya terbukti efektif di banyak negara, studi sintesa “De-Risking Facilities For The Development Of Indonesia’s Renewable Power Sector” yang dilakukan CASE Indonesia pada 2021 menunjukkan bahwa saat ini Indonesia perlu memprioritaskan instrumen de-risking kebijakan daripada instrumen de-risking keuangan.
Selain itu, pendanaan infrastruktur energi terbarukan merupakan faktor penting dalam mengakselerasi transisi energi di Indonesia. Hasil simulasi yang dilakukan pada 2021 menunjukkan bahwa kebutuhan investasi pembangkit (capex) pada 2021 – 2060 sekitar USD 1.131 miliar, guna mencapai target net zero emission.
Kementerian ESDM menyampaikan informasi pada tahun ini bahwa Indonesia membutuhkan total investasi sebesar 1.177 miliar US, untuk membangun kapasitas terpasang sebesar 587 GW dari energi terbarukan pada 2060 (di mana 1.042 miliar USD untuk pembangkit listrik dan 135 miliar USD untuk sistem transmisi).
“Berbagai mekanisme mobilisasi pendanaan dan investasi pembiayaan telah ada di Indonesia. Tren menunjukkan bahwa climate financing dapat menjadi salah satu sumber pendanaan yang dapat mendukung proses transisi energi di Indonesia,” terangnya.
Lebih lanjut, menurutnya, integrasi ataupun modifikasi terhadap berbagai instrumen yang ada juga dapat menjadi modalitas yang baik dalam mendukung proses transisi energi di Indonesia. Lalu bagaimana upaya Indonesia untuk segera meningkatkan pendanaan dalam mendukung target energi bersih tersebut?
Deni Gumilang, Sustainable Energy Finance Advisor, Deputy Programme Manager GIZ Indonesia menjelaskan, prioritas instrumen de-risking kebijakan diperlukan karena isu-isu yang lebih banyak dihadapi pada saat ini adalah pada aspek regulasi. Kerangka peraturan yang lebih baik dan lingkungan bisnis yang ramah untuk pertumbuhan energi terbarukan akan dapat menciptakan landasan yang kokoh terkait mobilisasi pendanaan dan mekanisme pembiayaan ke depannya.
Adapun kondisi tersebut dapat dipenuhi melalui beberapa implementasi instrumen de-risking kebijakan. Di antaranya meningkatkan target dan kebijakan energi terbarukan terutama dalam hal kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koherensinya. Lalu reformasi kebijakan insentif dan penetapan harga, khususnya kebijakan penetapan harga dan subsidi yang berfokus pada energi terbarukan.
Kemudian menciptakan proses perizinan dan pengadaan yang efektif dan efisien untuk memberikan keamanan dan kepastian investasi.
“Dan meningkatkan kelayakan serta kredibilitas proyek dengan memfasilitasi penelitian, pengembangan proyek, serta pengembangan kapasitas,” tukasnya. (Hartatik)