Jakarta – Ahli kebijakan iklim Jerman mengatakan bahwa banyak pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman Just Energy Transition Partnership (JETP) di Afrika Selatan. Negara tersebut telah memulai skema tersebut kira-kira setahun lebih awal dari Indonesia.
Salah satu pembicara ahli dalam Simposium Pusat Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI ITB) adalah Dr Heiner Von Leupke dari Departemen Kebijakan Iklim DIW Berlin. Dia menyoroti tantangan transisi energi dan pembelajaran dari kemitraan energi yang adil (JETP) di Afrika Selatan, serta mencari keterkaitannya dengan proses serupa di Indonesia.
Simposium yang berjudul “Pasca COP28 UNFCCC: Refleksi Tata Kelola Iklim dalam Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia”, mewadahi diskusi mengenai perbedaan pandangan antara kelompok pelaku internasional yang terhubung dengan pendanaan iklim dan kelompok pelaku lokal.
Dr Von Leupke membahas bagaimana pendonor internasional lebih fokus pada mitigasi iklim, sedangkan pelaku lokal memiliki pandangan yang beragam terkait transisi yang adil, termasuk aspek keadilan sosial. Dalam paparannya, peneliti DIW Berlin tersebut mengungkap hasil studi kasus mengenai Just Energy Transition Partnership (JETP) pada sektor energi di Afrika Selatan. Proyek ini mendapatkan dukungan dana multinasional sebesar USD 8,5 miliar yang diumumkan saat COP26 di Glasgow.
Ia mengungkapkan, salah satu temuan utama pada proyek JETP Afrika Selatan ini adalah adanya dua tingkatan utama dalam kerja sama tersebut. Pertama, kesepakatan internasional antara Presiden Afrika Selatan dan donor internasional. Kedua, tingkat transisi domestik melibatkan berbagai kelompok dengan pandangan berbeda terkait arah transisi energi.
Dr Von Leupke menekankan pentingnya kejelasan kepemilikan proyek dalam situasi di mana kelompok memiliki pandangan berbeda. “Dalam konteks ini, membangun kepercayaan antara kelompok internasional dan lokal menjadi kunci dalam mendukung transisi yang adil,” ujarnya.
Ia menyatakan bahwa untuk mencapai kerja sama yang efektif, diperlukan pemahaman mendalam antara kedua kelompok. Dr Von Leupke menekankab bahwa “kerja sama internasional dalam proses kebijakan domestik memerlukan komunikasi terbuka, keterbukaan untuk membahas tantangan, dan komitmen untuk memahami pandangan dan strategi masing-masing pihak”.
Sebelumnya, cendekiawan dan aktivis Afrika Selatan Dr Alex Lenferna yang meneliti JETP, menyuarakan keprihatinannya bahwa inisiatif-inisiatif yang dilakukan pemerintah Afrika Selatan tidak cukup menjawab kewajiban moral negara tersebut dan memperingatkan adanya potensi jebakan dalam model-model pendanaan yang dapat melayani kepentingan pemodal internasional, yang berpotensi merusak masa depan energi bersih. (Hartatik)