Jakarta – Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memprediksi dunia akan menghadapi kemungkinan 50 persen pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri pada 2026.
Meski begitu, prediksi tersebut bukan berarti dunia akan melewati ambang pemanasan jangka panjang 1,5 derajat Celsius, yang telah ditetapkan para ilmuwan sebagai batas tertinggi untuk menghindari bencana perubahan iklim. Tetapi satu tahun pemanasan pada 1,5 derajat Celsius dapat menawarkan rasa seperti apa melintasi ambang batas jangka panjang itu. Demikian seperti dikutip dari Reuters, Selasa (10/5).
Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas mengungkapkan, Kemungkinan melebihi 1,5 derajat Celsius untuk waktu yang singkat telah meningkat sejak 2015. Para ilmuwan pada tahun 2020 memperkirakan peluang 20 persen dan merevisi tahun lalu hingga 40 persen.
Bahkan satu tahun pada 1,5 derajat Celsius, pemanasan dapat memiliki dampak yang mengerikan, seperti membunuh banyak terumbu karang dunia dan menyusutnya lapisan es laut Arktik.
“Kami semakin dekat untuk mencapai target yang lebih rendah dari Perjanjian Paris untuk sementara waktu,” ujarTaalas, mengacu pada kesepakatan iklim yang diadopsi pada tahun 2015.
Lebih lanjut, menurutnya, rata-rata suhu global sekarang sekitar 1,1 derajat Celsius lebih hangat daripada rata-rata pra-industri.
“Kehilangan dan kerusakan yang terkait dengan, atau diperburuk oleh, perubahan iklim sudah terjadi, beberapa di antaranya kemungkinan tidak dapat diubah untuk masa mendatang,” kata Maxx Dilley, Wakil Direktur Iklim di WMO.
Para pemimpin dunia berjanji di bawah Perjanjian Paris 2015 untuk mencegah melintasi ambang batas 1,5 derajat Celsius jangka panjang, diukur sebagai rata-rata multidekade. Namun sejauh ini gagal dalam mengurangi emisi pemanasan iklim.
“Penting untuk diingat bahwa begitu kita mencapai 1,5 derajat Celsius, kurangnya kebijakan emisi berbasis sains berarti bahwa kita akan menderita dampak yang lebih buruk saat kita mendekati 1,6 derajat Celsius, 1,7 derajat Celsius, dan setiap kenaikan pemanasan setelahnya,” kata Kim Cobb, seorang ilmuwan iklim di Institut Teknologi Georgia. (Hartatik)