GlobalData: Ketidakpastian ekonomi hambatan percepatan transisi energi global

Jakarta – Peralihan menuju energi rendah karbon yang diusung industri minyak dan gas bumi (migas) mengalami perlambatan di tengah ketidakpastian ekonomi global, menurut laporan terbaru GlobalData. Laporan tersebut mengatakan dampak dari inflasi, kenaikan suku bunga, serta ketegangan geopolitik, seperti perang di Ukraina, telah membuat banyak negara kembali mengandalkan bahan bakar fosil untuk menjaga keamanan energi.

Laporan yang berjudul “Energy Transition in Oil and Gas”, mengatakan bahwa hal yang menghambat upaya transisi energi tersebut berlangsung hingga akhir tahun 2024.

Analis migas GlobalData, Ravindra Puranik, Selasa, 24 September, mengatakan bahwa meski upaya transisi energi tetap berlanjut, kecepatannya melambat disebabkan oleh peningkatan permintaan bahan bakar fosil dan gangguan rantai pasok yang dipicu oleh ketegangan geopolitik.

“Keamanan energi telah menjadi perhatian sebagian besar negara setelah pecahnya perang Rusia-Ukraina,” katanya.

Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa meningkatnya kekhawatiran terhadap keamanan energi telah memaksa banyak negara untuk beralih kembali ke bahan bakar fosil yang lebih mudah diakses. Perang Rusia-Ukraina yang berlarut-larut telah menyebabkan gangguan pada pasokan energi global, yang berdampak pada kenaikan harga bahan bakar fosil.

“Gangguan rantai pasokan sebagai akibatnya, mendorong negara-negara untuk beralih ke bahan bakar fosil yang tersedia, sehingga meningkatkan permintaan minyak dan gas. Di sisi lain, dorongan untuk kemandirian energi dan inflasi yang tinggi telah menggagalkan adopsi energi bersih,” jelas Puranik.

Target dekarbonisasi yang terganjal

Meski beberapa perusahaan migas terkemuka telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050, realisasi jangka pendek hingga menengah mengalami banyak tantangan. Sebagian besar perusahaan awalnya berinvestasi besar-besaran dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, namun ketidakpastian ekonomi membuat investasi tersebut terhambat.

“Pada tahun 2020, sejumlah perusahaan minyak dan gas mengumumkan target transisi energi yang ambisius. Namun, euforia seputar transisi energi agak mereda memasuki tahun 2024. Masalah profitabilitas dan inflasi, serta suku bunga yang tinggi menyebabkan ketidakpastian dalam menjalankan proyek-proyek energi terbarukan,” tambah Puranik.

Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan migas terus mengeksplorasi berbagai teknologi untuk mengurangi emisi karbon. Salah satu teknologi yang terus berkembang adalah penangkapan karbon (Carbon Capture Storage/CCS), yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari proses industri. Selain itu, perusahaan juga mulai mengembangkan produksi hidrogen, energi terbarukan, dan bahan bakar rendah karbon sebagai alternatif bagi konsumen.

“Transisi energi industri minyak dan gas membutuhkan perencanaan jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan emisi karbon. Dalam jangka pendek dan menengah, perusahaan harus memasukkan bahan bakar transisi serta sumber energi rendah karbon dan nol karbon ke dalam portofolio mereka. Meskipun terjadi perlambatan secara berkala, transisi energi di industri minyak dan gas akan terjadi dan membuka jalan bagi bauran energi global yang baru di masa depan,” kata Puranik. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles