Jakarta – Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif dengan menyiapkan sejumlah lahan di luar Jawa sebagai kawasan penyangga produksi pangan nasional, menurut pejabat Badan Pangan Nasional (Bapanas). Langkah ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan pangan di tengah tantangan krisis iklim yang semakin nyata.
Pelaksana tugas Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas, Budi Waryanto mengungkapkan bahwa pemerintah telah merancang kawasan-kawasan potensial di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Papua sebagai kawasan penyangga produksi nasional.
“Kita perlu memastikan keberlanjutan produksi pangan nasional dengan mengembangkan kawasan penyangga di luar Jawa,” kata Budi dalam diskusi bertajuk “Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim” belum lama ini.
Tanpa merinci luas lahan dan jenis tanaman pangan yang akan dikembangkan, Budi menegaskan bahwa kawasan penyangga tersebut akan ditanami dengan tanaman pangan sesuai kebutuhan nasional. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengantisipasi fluktuasi harga pangan yang terjadi akibat berbagai faktor, termasuk perubahan iklim.
Kenaikan harga pangan dalam beberapa bulan terakhir, seperti beras, cabai merah, dan bawang putih, memicu kekhawatiran akan ketersediaan pasokan bahan pangan di Indonesia. Faktor perubahan iklim, termasuk iklim yang tidak menentu dan fenomena El Niño, menjadi salah satu penyebab utama lonjakan harga pangan tersebut.
Para ahli mengkaji sumber masalah
Guru Besar Meteorologi dan Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Edvin Aldrian mengatakan bahwa ketegangan geopolitik yang turut berperan dalam menaikkan harga pangan yang harus diimpor, seperti gandum.
Sementara itu, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Supari menekankan pentingnya pengetahuan dan pemahaman mengenai iklim ekstrem bagi petani untuk mengantisipasi dampaknya di masa depan. Sebabnya, iklim ekstrem akan selalu berulang setiap tahunnya sehingga perlu informasi untuk mengurangi risiko.
Angga Dwiartama, dosen dan peneliti pangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan pentingnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh semua kalangan petani, termasuk petani kecil dalam menghadapi tantangan ini. Penting pula untuk memastikan bahwa semua petani dapat menggunakan teknologi modern yang memungkinkan mereka mengelola pertanian secara efisien di tengah kondisi iklim yang berubah.
Ahmad Juang Setiawan, peneliti iklim dari Traction Energy Asia, menegaskan pentingnya menggali kembali kearifan lokal di bidang pola tanam yang terbukti mampu bertahan menghadapi perubahan iklim. “Upaya ini diharapkan dapat memberikan solusi yang berkelanjutan dalam menghadapi krisis iklim yang mengancam ketersediaan pangan di Indonesia,” ungkap Ahmad.
Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, institusi penelitian, petani, dan masyarakat lokal sangatlah penting. Diperlukan pendekatan yang terpadu dan holistik dalam mengatasi tantangan ketersediaan pangan di masa depan, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersama-sama. (Hartatik)