Jakarta – Agroekologi atau pola pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan bisa menjadi solusi bagi petani kecil (gurem) dalam menghadapi perubahan iklim. Gurem yakni petani mereka yang memiliki atau menyewa lahan seluas kurang dari 0,5 hektar, menjadi pihak yang paling rentan terdampak perubahan iklim.
“Kapasitas respons mereka relatif kecil dibandingkan para petani besar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah edukasi terkait agroekologi agar pertanian berkelanjutan tercapai,” ungkap Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Mahra Arari Heryanto dalam webinar ”Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim” yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian dan Fakultas Pertanian Unpad, Selasa (19/4).
Mahra mengatakan, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejak tahun 1981 atau empat dekade terakhir, suhu rata-rata Indonesia telah meningkat 0,63 derajat celsius. Setiap dekade ada peningkatan suhu berkisar 0,1-0,3 derajat celsius. Lebih lanjut, menurutnya, pertanian sebenarnya menjadi salah satu sektor pemicu terjadinya perubahan iklim.
Melalui modernisasi, yakni dengan input kimia secara intensif pada sistem monokultur, pertanian memberi dampak besar pada perubahan iklim. Padahal, dampak dari perubahan iklim juga dirasakan pelaku sektor pertanian itu sendiri, terlebih petani kecil.
Adapun pengaruh perubahan iklim pada produktivitas pertanian, antara lain, terlihat pada perilaku serangga yang tidak bisa ditebak. Selain itu, musim hujan ataupun musim kemarau berkepanjangan atau sulit terprediksi. Pada akhirnya, produksi pertanian pun terganggu.
”Yang terdampak, ya, petani kecil. Kita tahu bahwa lebih dari 50 persen petani di Indonesia adalah petani gurem. Jadi, merekalah yang akan merasakan dampak dari peningkatan suhu bumi. Mereka mau tak mau hanya bisa pasrah karena pendapatan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kapasitas respons mereka rendah,” ujar Mahra.
Oleh karena itu, penting bagi petani untuk merespons perubahan iklim, antara lain dengan mitigasi. Dalam hal ini, kapasitas respons yang baik guna mengurangi kerentanan ialah melalui agroekologi. Penggunaan pupuk organik menjadi salah satu caranya. Apabila dikelola dengan baik, kapasitas respons dapat menekan kerentanan atau risiko dampak negatif perubahan iklim.
Sementara itu, Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Unpad, Shantosa Yudha Siswanto menambahkan, dari data Environmental Protection Agency, sektor pertanian, seperti peralihan penggunaan lahan dan pembukaan lahan hutan, berkontribusi 24 persen dalam emisi. “Itu merupakan sektor terbesar kedua setelah produksi listrik dan panas”.
Salah satu pemicu pemanasan global tersebut, menurut Shantosa, adalah erosi tanah. Pasalnya, tanah memiliki stok karbon sekitar 2.300 gigaton. Pada tanah dengan ketebalan 40 sentimeter, misalnya, jika terbuka, 860 gigaton karbon akan terbang ke atmosfer. Oleh karena itu, dari sisi konservasi, yang bisa dilakukan ialah jangan sampai tanah terbuka.
Sejumlah hal yang perlu didorong guna menekan kontribusi pertanian pada perubahan iklim ialah pengolahan tanah secara minimum, pemupukan bahan organik, pemulsaan (penutupan permukaan dengan bahan organik), dan penanaman penutup tanah. Juga penanaman searah kontur, penanaman jalur, penerapan sistem lorong, dan sistem rotasi tanaman.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan, pihaknya terus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam membuat terobosan demi ketahanan pangan nasional. Di Jawa Barat, misalnya, semua kabupaten didorong untuk minimal menanam 1.000 hektar tanaman padi IP (indeks pertanaman) 400, yang bisa empat kali tanam setahun.
Sebelumnya, dalam upaya mengantisipasi puncak musim kemarau 2022, Kementerian Pertanian mendorong berbagai hal, salah satunya gerakan panen air. Suwandi mengatakan, air hujan dan run-off (limpasan permukaan) ialah sumber daya alam yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, yakni hanya dibiarkan mengalir ke saluran drainase menuju sungai. (Hartatik)