
Jakarta – Ketersediaan energi domestik pada 2030 diperkirakan hanya mampu memenuhi 75 persen permintaan energi nasional. Bahkan cenderung terus menurun hingga sekitar 28 persen pada 2045. Karena itu, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan industri berbasis energi bersih menjadi tuntutan yang tidak bisa lagi dihindari.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Taufiek Bawazier dalam rilis acara seminar sehari dengan tema “Seminar Hidrogen untuk Industri: Tantangan dan Peluang dalam Mendukung Kemandirian Industri”, Rabu (30/3).
Lebih lanjut, menurutnya, ada potensi kekurangan suplai energi di masa depan sehingga akan memengaruhi ketersediaan energi sebagai bahan baku atau bahan penolong di sektor Industri. Bahkan, dengan kondisi keterbatasan energi fosil di masa depan, diperlukan upaya untuk pemenuhan sumber energi baru yang memadai dan andal yang akan memberikan efek pengganda, dalam mendukung daya saing industri, menarik minat investasi, dan tumbuhnya industri dalam negeri.
“Salah satu EBT yang akan berkembang pesat adalah hidrogen. Dan hidrogen menjadi masa depan energi bagi industri,” imbuhnya.
Taufiek menambahkan, hidrogen akan menjadi game changer dari energi dunia yang akan menggantikan energi fosil dan batubara. Hidrogen merupakan pembawa energi yang dapat digunakan untuk menyimpan, memindahkan, dan menyalurkan energi yang dihasilkan dari sumber lain.
“Selain itu, pertimbangan pengembangan hidrogen adalah rendahnya biaya produksi di masa depan,” jelasnya.
Ia pun memberi perbandingan, biaya produksi green hydrogen mencapai 2,5-4,5 USD per kg pada 2019, dan diproyeksi menjadi 1-2,5 USD per kg pada 2030. Bahkan harga tersebut akan turun hingga tiga kali lipat pada 2050.
Dengan demikian, Taufiek menilai, hidrogen sebagai bahan bakar akan semakin ekonomis dan populer di masa mendatang. Dengan peluang ini, Kemenperin siap menginisiasi pemanfaatan hidrogen sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan pada sektor industri pembangkit listrik, industri logam, industri makanan, dan bahkan industri semikonduktor di masa yang akan datang.
“Selain itu, hidrogen dapat dimanfaatkan dalam cell baterai untuk aplikasi kendaraan bermotor, truk, kapal, kereta api bahkan pesawat udara. Peluang ini harus kita sikapi dengan menyiapkan kemampuan baik dari sisi teknologi maupun dari sumber daya manusia. Artinya, pemanfaatan hidrogen akan meningkatkan daya saing bagi nilai tambah industri,” paparnya.
Taufiek menambahkan, saat ini setidaknya terdapat tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Pertama, terkait dengan akses energi bersih, dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan, dimana proses transisi energi membutuhkan dana yang sangat besar. Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif.
“Kami telah mengeluarkan peta jalan Industri Otomotif Nasional yang menetapkan 20 persen penggunaan kendaraan berbasis baterai listrik pada 2025 yang diikuti dengan upaya efisiensi pada industri otomotif untuk jenis teknologi Internal Combustion Engine (ICE), hybrid, dan plug-in hybrid,” terang Taufiek. (Hartatik)