JAKARTA – Koordinator Perkumpulan Aksi Ekonomi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkapkan, pinjaman bank dalam negeri terhadap industri batubara masih tinggi. Dalam kurun 2018-2020, pendanaan terhadap energi kotor tersebut mencapai Rp 89 triliun.
“Pendanaan terhadap industri batubara masih jauh lebih tinggi dibanding pinjaman ke sektor energi terbarukan yang hanya Rp 21,5 triliun,” ungkap Ginting dalam rilis tertulis, Selasa (1/3).
Ia pun berharap lembaga perbankan dalam negeri agar menghentikan pendanaan terhadap industri batubara. Semua pihak punya peran yang besar untuk menghentikan krisis iklim ini, termasuk sektor perbankan.
Hal senada diungkapkan Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.Org. Menurutnya, sebagian perbankan memiliki andil besar menyebabkan berbagai bencana iklim ketika masih mendanai proyek energi fosil.
“Kita semua mempertanyakan peran mereka, apakah mereka bagian dari solusi dengan melakukan praktik keuangan berkelanjutan yang sejati?” Sekali lagi ilmuwan yang tergabung dalam IPCC menegaskan bahwa kita harus segera bertindak untuk dapat meredam dampak krisis iklim agar tidak semakin memburuk keadaan,”kata Jeri.
Lebih lanjut, menurutnya, saat ini ada empat bank di Indonesia yang masih mendanai proyek energi kotor batu bara, penyebab krisis iklim. Bank-ban itu adalah BNI, Mandiri, BRI dan BCA. Sementara itu, Interim Indonesia Team Leader 350, Firdaus Cahyadi menambahkan, peran keempat bank ini dalam mendanai krisis iklim melalui pendanaan ke energi kotor batu bara sangat mengecewakan.
“Kebijakan mereka mendanai batu bara sangat mengecewakan kita semua, termasuk nasabah-nasabah keempat bank itu. BNI misalnya ,beberapa kali mengklaim mendukung upaya pengurangan gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, namun ternyata masih mendanai batu bara. Ini sungguh mengecewakan,” tegasnya.
Keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat, juga diperlukan dalam mengatasi krisis iklim,
“Dalam laporan IPCC yg berkaitan dengan dampak, adaptasi, dan kerentanan ini ditekankan pentingnya peran masyarakat adat dan masyarakat lokal karena mereka memiliki pengetahuan tentang dunia, tentang alam,“ ujar Brigitta Isworo Laksmi, jurnalis lingkungan senior.
Menurutnya, penting untuk melibatkan masyarakat adat. Sebab mereka yang tahu cara mengatasi krisis iklim. Apalagi Indonesia memiliki demikian banyak masyarakat adat.
“Mestinya bisa mengambil langkah strategis dengan melibatkan mereka dalam merencanakan pembangunan untuk ketahanan iklim,” tukasnya. (Hartatik)