oleh: Mochamad Indrawan* dan Kishore Dhavala**
Program Kampung Iklim atau yang lebih dikenal sebagai ProKlim, merupakan salah satu instrumen kebijakan publik paling inovatif yang telah muncul hingga saat ini dalam respons Indonesia terhadap perubahan iklim. Dimuali tahun 2012 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ProKlim menggabungkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan pengembangan berbasis komunitas di tingkat desa. Meskipun dirancang sebagai inisiatif lingkungan, dampaknya melampaui kebijakan iklim dan merambah ke cara-cara di mana ekonomi lokal, tata kelola, dan kohesi sosial dibentuk ulang melalui pengelolaan ekologi.
Pada intinya, ProKlim mengadopsi pendekatan yang berorientasi pada komunitas dalam aksi iklim. Program ini mendorong desa-desa untuk merancang dan melaksanakan langkah-langkah yang sesuai dengan kondisi lokal dalam pengelolaan lahan, air, hutan, dan energi, yang mencerminkan kondisi ekologi dan sosial yang spesifik. Ini merupakan pendekatan dari bawah ke atas, dan hal ini membedakan ProKlim dari program-program teknokratis yang menangani isu-isu iklim.
Alih-alih memandang komunitas sebagai penerima manfaat, ProKlim memandang mereka sebagai agen perubahan yang aktif. Ide ProKlim ini telah disampaikan dengan sangat tepat dan sederhana kepada komunitas internasional dalam “Dialog Antar-Asia tentang Pembangunan Pedesaan – Tantangan dan Peluang Bersama Asia,” yang diselenggarakan pada 8–11 Desember 2025 di Universitas Nalanda, India. Ada cara untuk memulihkan lingkungan dan dengan demikian memperkuat ekonomi lokal—siklus positif di mana kesehatan ekologi mendukung ketahanan ekonomi.
Mungkin kontribusi paling penting dari ProKlim adalah pengakuan resmi yang diberikannya kepada inisiatif komunitas yang sebaliknya akan tetap tidak terlihat. Di daerah pedesaan terpencil, pertanian, pengelolaan hutan, dan tata kelola air semuanya sangat bergantung pada tenaga kerja kolektif, norma-norma adat, dan lembaga-lembaga informal.
Dengan memberikan pengakuan tingkat nasional terhadap pekerjaan ini, ProKlim mendorong aksi iklim lokal ke panggung kebijakan publik, sehingga mengukuhkan pengetahuan dan praktik komunitas. Pengakuan tersebut telah mendorong pemerintah daerah untuk berinteraksi secara lebih dinamis dengan desa-desa. Hal ini memfasilitasi kolaborasi lintas sektor dan membantu dalam menggerakkan investasi publik sesuai dengan tuntutan iklim lokal.
Dari perspektif ekonomi, ProKlim memperkuat pengembangan ekonomi desa yang berkelanjutan, beragam, dan tangguh. Pemulihan ekologi—kesehatan tanah yang meningkat, keanekaragaman hayati yang bertambah, dan daya serap air yang lebih baik—merupakan kunci untuk pertanian yang lebih tangguh.
Sistem pertanian yang beragam mengurangi ketergantungan pada komoditas tunggal yang dapat terancam oleh perubahan iklim atau fluktuasi harga. Banyak desa yang berpartisipasi mengadopsi sistem agroforestri yang terdiri dari tanaman pangan, pohon buah, pohon peneduh, dan spesies kayu yang meningkatkan kondisi kelembaban tanah dan mikroklimat sambil menyebar risiko ekonomi. Di wilayah lain, ProKlim memfasilitasi munculnya rantai nilai yang sensitif terhadap iklim, termasuk kopi yang ditanam di bawah naungan, produk hutan non-kayu, dan kebun herbal yang digunakan dalam produksi obat tradisional dan komersial.
Dari Asia Selatan, pendekatan serupa dapat ditemukan dalam cara India mengimplementasikan inisiatif desa yang tahan terhadap perubahan iklim. Upaya ini didasari oleh pemahaman kebijakan yang serupa: yaitu, bahwa tindakan iklim dan ketahanan ekonomi dapat saling memperkuat secara positif.
Pemerintah India sedang melaksanakan tujuan-tujuannya melalui Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim dan Misi Nasional untuk Pertanian Berkelanjutan melalui Inisiatif Nasional tentang Pertanian Tahan Iklim (NICRA). Desa-desa Tahan Iklim (CRV) di bawah NICRA mendorong sistem pertanian yang beragam, pengelolaan agroekosistem, daur ulang limbah organik, dan pertanian dengan input rendah di daerah-daerah yang rentan terhadap perubahan iklim di seluruh negeri. Inisiatif ini meningkatkan produktivitas lahan dan menstabilkan pendapatan, menunjukkan bagaimana pemulihan modal alam dapat menjadi pendorong transformasi ekonomi.
Meskipun berbagi prinsip yang sama, kedua pendekatan ini berbeda dalam landasan institusionalnya. ProKlim didasarkan pada pengakuan nasional dan insentif programatik untuk mendorong inisiatif tingkat komunitas dalam sistem pemerintahan desentralisasi Indonesia. Di sisi lain, desa-desa yang tahan terhadap perubahan iklim di India didukung oleh sistem Gram Panchayat, di mana lembaga pemerintahan desa memiliki peran kunci dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan sumber daya alam. Perbedaan ini menunjukkan jalur yang berbeda dalam mengintegrasikan aksi iklim ke dalam tata kelola lokal dan dipengaruhi oleh konteks administratif dan politik masing-masing negara.
Secara bersama-sama, ProKlim dan inisiatif desa yang tangguh terhadap perubahan iklim menunjukkan bagaimana kebijakan iklim melampaui metrik emisi dan adaptasi menuju penguatan kepemimpinan lokal, tata kelola komunitas, dan ketahanan jangka panjang.
Dalam bentuknya yang optimal, desa-desa yang tahan terhadap perubahan iklim menampilkan jalur yang terpadu dan kokoh menuju tujuan iklim dan pembangunan mereka. Pendekatan holistik ini stabil, kokoh, dan berakar pada masyarakat, menunjukkan kepada dunia bahwa aksi iklim yang dimiliki oleh komunitas dapat menjadi landasan utama ketahanan nasional yang berkelanjutan.
*Mochamad Indrawan adalah seorang ekolog di Pusat Penelitian Perubahan Iklim, Universitas Indonesia.
**Kishore Dhavala adalah Associate Professor di Sekolah Studi Ekologi dan Lingkungan, Departemen Ekonomi, dan Wakil Dekan Hubungan Internasional, Universitas Nalanda.
Foto banner: Pegiat Proklim Adian Sudiana, warga RW3 Cempaka Putih Timur, Jakarta. 22 Agustus 2024 (nsh)


