JATAM: Sumatera Utara terjajah sawit dan tambang; deforestasi meluas ribuan hektare

Jakarta – Di tengah krisis ekologis yang menghantam Sumatera, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai bahwa Provinsi Sumatera Utara kini berada dalam kondisi darurat akibat ekspansi besar-besaran tambang dan perkebunan sawit yang merampas bentang hutan tersisa. Dengan konsesi yang menumpuk di sektor ekstraktif, provinsi ini dianggap “dijajah” industri tambang dan perkebunan yang mempercepat laju deforestasi dan memperparah risiko bencana.

Bencana banjir dan longsor yang terjadi sejak akhir November hingga awal Desember 2025 telah menelan korban sangat besar. Hingga 5 Desember, tercatat 836 orang meninggal dan 518 lainnya hilang. Bagi JATAM, tragedi ini tidak dapat dipisahkan dari pola perusakan lingkungan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 7,24 juta hektare kini harus berebut ruang hidup dengan izin-izin raksasa di sektor pertambangan dan kehutanan. Di wilayah tambang, dua perusahaan besar mencolok karena beroperasi di kawasan sensitif: PT Agincourt Resources—pengelola tambang emas Martabe—dan Dairi Prima Mineral (DPM). Keduanya berada di wilayah yang menyimpan nilai ekologis sangat tinggi.

Koordinator JATAM, Melky Nahar, menjelaskan bahwa Agincourt Resources kini menguasai konsesi seluas 130.355 hektare berdasarkan Kontrak Karya 252.K/30/DJB/2018. Angka tersebut tumbuh drastis dibandingkan izin awal perusahaan pada 1997.

“Menurut analisis citra satelit menggunakan Nusantara Atlas, estimasi deforestasi selama satu tahun terakhir yang diakibatkan aktivitas Agincourt seluas 739 hektare,” ungkap Melky dalam keterangannya, Kamis, 11 Desember.

Ia menambahkan bahwa sejak 2012 hingga 2024, perusahaan tersebut telah mencatatkan deforestasi total mencapai 5.465 hektare di kawasan hutan, belum termasuk pembukaan 4.847 hektare di area APL.

“Selain itu, wilayah konsesi Agincourt bertumpang tindih dengan WKP Sibual-buali yang merupakan lokasi PLTP Sarulla,” jelasnya.

Di sektor kehutanan, Sumatera Utara menanggung beban dari 13 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, 12 di antaranya untuk industri kayu yang terkait langsung dengan deforestasi. Total luas konsesi mencapai 537.131 hektare, belum termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan tambang. PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) tercatat sebagai pemegang wilayah konsesi terbesar, yakni 167.912 hektare.

Alfarhat Kasman, dari Divisi Kampanye JATAM, menyinggung pula rekam jejak kontroversial perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu.

“Pada 2017, namanya disebutkan dalam skandal Paradise Papers yang dirilis International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ),” ujar Alfarhat, seraya menyebut bahwa APRIL Group dituduh memutar uang miliaran dolar AS melalui perusahaan cangkang di berbagai yurisdiksi bebas pajak.

Menurut JATAM, praktik industri kehutanan telah menggerus hutan Sumatera Utara hingga seluas 1,6 juta hektare sejak 2001, dengan total emisi karbon sebesar 810 MtCO₂e. Kabupaten Mandailing Natal menjadi penyumbang deforestasi terbesar mencapai 170.000 hektare.

Melky menambahkan bahwa tekanan terhadap hutan tidak hanya datang dari perusahaan kayu, tetapi juga dari industri tambang yang menyelimuti wilayah provinsi.

“Sumatera Utara juga menjadi jajahan industri tambang dengan 170 izin tambang yang membebani sekujur tubuh provinsi ini dengan luas total konsesi mencapai 208.423,97 hektare. Ini di luar wilayah konsesi panas bumi dan PLTA yang memerlukan penggusuran hutan untuk infrastruktur,” katanya.

Selain tambang mineral besar seperti Martabe, perusahaan lain seperti Dairi Prima Mineral juga turut menambah masalah. Perusahaan tambang seng dan timbal itu kehilangan izin lingkungan pada Juni 2025 setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga.

JATAM juga menyebut bahwa tekanan terhadap ruang hidup masyarakat Sumut semakin berat akibat ekspansi sawit. Total area perkebunan sawit mencapai 1.175.940 hektare, dengan deforestasi setahun terakhir sebanyak 239 hektare—di antaranya 39 hektare berada di hutan rawa gambut. Di kawasan non-hutan, pembukaan lahan mencapai 21.554 hektare.

Dengan deretan data deforestasi yang terus meningkat dan sektor ekstraktif yang mendominasi bentang alam, JATAM menegaskan bahwa Sumatera Utara kini berada di titik krisis. Tanpa pembenahan tata ruang dan penegakan hukum yang jelas, provinsi ini semakin rentan terhadap bencana ekologis yang lebih besar di masa mendatang. (Hartatik)

Foto banner: Jalan tertimbun longsoran di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. 10 Desember 2025. Sumber: BNPB

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles