Jakarta – Masyarakat sipil memandang rencana pemerintah menerapkan bea keluar batu bara mulai 2026 sebagai terobosan penting yang dapat mengubah arah pendanaan transisi energi Indonesia. Kebijakan yang semula dianggap instrumen fiskal ini justru dinilai mampu menjadi penopang utama pembiayaan program energi surya nasional, termasuk target ambisius Presiden Prabowo Subianto untuk membangun 100 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya di seluruh Indonesia.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, Rabu, 3 Desember mengatakan bahwa bea keluar batu bara bukan hanya wacana pengendalian ekspor, tetapi dapat menjadi kunci penggerak ekonomi energi bersih Indonesia. Ia mengingatkan bahwa masalah terbesar transisi energi selama ini bukan pada teknologi, melainkan pendanaan.
“Selama ini soal pembiayaan merupakan penghambat utama transisi energi. Dengan pendapatan yang bisa mencapai Rp 360 triliun dalam empat tahun ke depan, kita punya kesempatan nyata untuk mewujudkan 100 GW energi surya dan membawa Indonesia menuju kemandirian energi hijau,” ujar Tata.
Kajian SUSTAIN menunjukkan bahwa dengan menggunakan patokan Harga Batu Bara Acuan (HBA) Oktober 2023, penerapan bea keluar bahkan dalam skenario konservatif dapat menghasilkan pendapatan USD 5,63 miliar atau sekitar Rp 90 triliun per tahun. Jika konsisten diterapkan selama empat tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo, total potensi penerimaannya mencapai Rp 360 triliun. Angka ini disebut cukup untuk menopang fase awal pembangunan proyek energi surya skala desa.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya memperkirakan bahwa untuk memenuhi target 100 GW, termasuk instalasi tenaga surya di 80.000 desa, dibutuhkan investasi mencapai USD 100 miliar, atau sekitar Rp 1.600 triliun. SUSTAIN menilai pendapatan bea keluar Rp 90 triliun per tahun dapat menjadi modal awal untuk menggarap 18.000 desa, masing-masing dengan kapasitas 1 MW. Angka tersebut mewakili lebih dari 20 persen desa di Indonesia dan dipandang sebagai langkah awal yang realistis.
Tata menekankan bahwa pemerintah tidak harus menunggu seluruh pendanaan terkumpul untuk memulai program 100 GW. Pendekatan percontohan dinilai efektif untuk memastikan kesiapan teknis dan kelembagaan.
“Pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan ini ke beberapa desa percontohan sebagai langkah awal atau piloting untuk penerapan Program 100 GW. Misalnya untuk desa di wilayah yang diproyeksikan akan mengalami peningkatan permintaan listrik, atau desa yang belum dialiri listrik, atau bahkan desa yang masih bergantung dengan listrik mahal dari bahan bakar diesel,” jelasnya.
Namun SUSTAIN mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada arah alokasi pendapatan negara dari bea keluar tersebut. Menurut lembaga itu, tanpa pengelolaan yang jelas, pendapatan besar yang dihasilkan bea keluar dapat terserap ke kebutuhan fiskal rutin dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap agenda transisi energi. Karena itu, Tata menegaskan perlunya mekanisme yang memastikan pendapatan itu benar-benar masuk ke program 100 GW.
“Agar kebijakan ini benar-benar mendukung agenda transisi energi, pendapatan dari bea keluar batubara harus dialokasikan secara jelas dan dikelola oleh Kementerian Keuangan untuk mendanai Program 100 GW,” tegasnya.
SUSTAIN mendorong pemerintah mengamankan kerangka kebijakan yang kokoh, mulai dari desain bea keluar, tata kelola penerimaan, hingga koordinasi antara kementerian. Tata menyebut bahwa Indonesia perlu memastikan tiga syarat pokok agar kebijakan ini efektif, yaitu mekanisme bea keluar progresif yang adil, pengalokasian khusus atau earmarking untuk program 100 GW, dan penguatan koordinasi lintas kementerian agar implementasinya terukur dan akuntabel.
“Penetapan bea keluar batubara dengan skema progresif dan berkeadilan, pengalokasian penerimaan secara khusus, serta koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Koperasi, dan PLN sangat penting untuk menjamin akuntabilitas dan efektivitas implementasi,” kata Tata.
Dengan kebutuhan investasi energi surya yang sangat besar dan semakin sempitnya ruang fiskal nasional, bea keluar batu bara dipandang sebagai instrumen strategis. Kebijakan ini tidak hanya memperkuat pendanaan transisi energi, tetapi juga menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak lagi bergantung pada batu bara—sebuah komoditas yang mulai kehilangan relevansi di tingkat global. (Hartatik)
Foto banner: Creativa Images/shutterstock.com


