Semarang – Upaya Jawa Tengah meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 menghadapi tekanan serius akibat kebijakan efisiensi anggaran. Kondisi ini membuat sejumlah program EBT tidak dapat dibangun sesuai rencana dan berpotensi mempengaruhi capaian bauran energi provinsi tersebut.
Penelaah Teknis Kebijakan Bidang EBT Dinas ESDM Jawa Tengah, Muhammad Rifqy Arya Marendra, Rabu, 26 November, menjelaskan bahwa capaian bauran energi yang tercatat hingga 18,55 persen bukanlah angka final 2025, melainkan hasil perhitungan tahun lalu. Perhitungan bauran tahun berjalan masih berlangsung dan baru akan dirilis pada akhir tahun ini setelah seluruh data konsumsi energi—baik listrik, BBM, batubara, hingga EBT—dikompilasi bersama para pemangku kepentingan seperti PLN, Pertamina, Direktorat Jenderal Minerba, dan Migas.
Rifqy mengakui bahwa keterbatasan APBD menjadi faktor utama tertekannya kontribusi langsung pemerintah provinsi terhadap pengembangan EBT.
“Sebelum kebijakan efisiensi diterapkan, Pemprov Jateng rutin membangun sekitar 30 unit PLTS berkapasitas kecil setiap tahun untuk pesantren, sekolah, dan fasilitas publik. Namun angka itu anjlok tajam pada 2025, di mana hanya empat titik yang dapat dibiayai melalui APBD, masing-masing dua unit PLTS untuk UMKM di Cilacap–Banyumas dan dua unit di Kabupaten Batang dan Tegal,” terangnya pada acara Dialog Media dengan Pemprov Jateng di Somerset Queen City. Dialog bertema “Perkembangan Energi Terbarukan dan Targett Energi Terbarukan” ini diinisiasi oleh Institut for Essential Services Reform (IESR).
Lebih lanjut, Rifqy menyampaikan, kondisi serupa juga terjadi pada program biogas. Sejumlah titik yang sudah tercantum dalam rencana jangka pendek tidak dapat dieksekusi tahun ini karena tidak tersedianya anggaran. Program-program tersebut terpaksa dipindahkan ke tahun berikutnya dengan catatan tergantung ketersediaan anggaran pada periode anggaran baru. Rifqy menyebut bahwa sebenarnya rencana pembangunan telah disusun melalui daftar panjang dan daftar prioritas, tetapi efisiensi anggaran membuat banyak proyek harus ditunda. Dari belasan target yang dibagi ke 12 cabang Dinas ESDM, hanya sebagian kecil yang terealisasi—antara lain empat unit PLTS dan sekitar 20-an unit biogas.
Penurunan kemampuan pendanaan APBD memaksa Pemprov mengubah strategi pengembangan EBT. Alih-alih meningkatkan kapasitas pembangunan langsung, pemerintah daerah kini memperkuat pendekatan kolaboratif, terutama dengan sektor industri dan komersial yang selama ini justru menjadi motor utama adopsi EBT di Jawa Tengah. Pemprov berfokus pada fasilitasi, penyelarasan regulasi, dan percepatan proses teknis, misalnya untuk instalasi PLTS atap industri. Kerja sama juga diperluas melalui Forum Energi Daerah serta kolaborasi dengan Dinas Perindustrian dalam mendorong green industry dan program eco pesantren.
Menurut Rifqy, bauran EBT Jawa Tengah saat ini ditopang oleh biomassa tradisional—khususnya penggunaan kayu bakar—biosolar B30, panas bumi, dan PLTS atap. Namun, tanpa intervensi pendanaan yang lebih kuat, peningkatan porsinya akan berjalan jauh lebih lambat.
Di tengah keterbatasan fiskal, Jawa Tengah berharap bauran energi tetap dapat bergerak naik, meski Rifqy belum bisa memastikan apakah target 21,32 persen pada 2025 dapat tercapai. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)


