Jakarta – Ambon menjadi salah satu saksi nyata bagaimana krisis iklim menggerus ketahanan hidup masyarakat pesisir. Bagi Icheiko Ramadhanty, pengalaman melihat keluarga nelayan kehilangan penghasilan dan perempuan pesisir terpuruk akibat laut tercemar bukan sekadar data dalam laporan iklim—melainkan kenyataan yang ia jumpai langsung. Dari situlah tekadnya tumbuh, membawa suara dari kampung-kampung pesisir Indonesia hingga panggung internasional COP30 di Belém, Brasil.
“Di Ambon, saya melihat perempuan pesisir kehilangan penghasilan karena hasil tangkapan ikan terus menurun. Laut makin tercemar, cuaca makin sulit ditebak. Mereka kehilangan ruang hidupnya sedikit demi sedikit,” ujar Icheiko pada media, Selasa, 25 November, sambil mengenang pengalamannya ketika mendampingi komunitas.
Pada November 2025, ia terpilih sebagai salah satu dari 16 pemimpin muda Selatan Global yang hadir di forum iklim terbesar dunia tersebut. Keberangkatannya didorong kiprahnya di GAWIREA (Girls and Women in Renewable Energy Academy), lembaga yang fokus pada edukasi energi terbarukan dan ketahanan iklim. Melalui perannya sebagai Communications and Community Development Manager, ia terlibat langsung mendampingi masyarakat yang paling terdampak perubahan iklim.
Di COP30, Icheiko membawa pesan tegas bahwa negara-negara kaya harus menunaikan tanggung jawab sejarahnya. “Saya ingin lebih bersuara untuk menekan negara maju menghadirkan pendanaan iklim yang memadai, bebas utang, tanpa syarat, serta memastikan Loss and Damage Fund benar-benar terisi dan bisa diakses,” katanya.
Ia menilai pertemuan COP30 berlangsung di tengah ketegangan global, di mana komitmen sebagian negara maju terhadap aksi iklim kian goyah. Namun, menurutnya, pertumbuhan energi terbarukan yang semakin cepat memberi harapan baru—asal keadilan iklim tidak diabaikan.
Melalui GAWIREA, Icheiko bersama tim menjalankan program Net Zero Heroes, kurikulum energi bersih yang telah menjangkau lebih dari 1.000 anak muda di Indonesia dan Asia Pasifik, dengan sekitar 80 persen peserta adalah perempuan. “Kami ingin orang muda paham apa itu krisis iklim dan tahu langkah praktis yang bisa mereka lakukan,” ujarnya.
Program ini melahirkan inisiatif komunitas, mulai dari pengolahan sampah, konservasi mangrove, hingga pemasangan panel surya di daerah terpencil. Pengalaman turun ke lapangan membuat Icheiko menyadari ketimpangan besar akses energi di Indonesia. “Banyak masyarakat di pulau kecil masih bergantung pada genset, sementara kota-kota besar bicara mobil listrik. Kesenjangan ini harus diubah,” tuturnya.
Kepemimpinan Icheiko membawa dirinya terpilih dalam program internasional Pathway to the Democratization of the South yang melibatkan peserta dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Enam bulan pembelajaran intensif itu melahirkan Deklarasi Pemuda Selatan Global yang kemudian dibacakan di COP30. Isinya menuntut pendanaan iklim yang adil, akuntabilitas perusahaan, perlindungan pembela lingkungan, serta keterlibatan generasi muda dalam setiap tahap kebijakan.
Juan David Amaya, Direktur Eksekutif Life of Pachamama, menegaskan bahwa suara Selatan Global tidak lagi bisa ditempatkan sebagai figuran dalam percaturan iklim dunia.
“Selama bertahun-tahun, Selatan hanya dilihat sebagai korban. Sekarang, generasi muda dari tiga benua menunjukkan bahwa kami adalah kekuatan politik yang harus diperhitungkan,” ujarnya.
Bagi Icheiko, gagasan Democratization of the South adalah upaya mengembalikan kendali kepada mereka yang paling terdampak. “Suara negara-negara Selatan tidak boleh hanya didengar; kami harus menjadi bagian dari pengambil keputusan,” tegasnya.
Icheiko percaya bahwa perjuangan iklim tidak berhenti di forum internasional. Ia ingin agar kolaborasi antara anak muda, komunitas lokal, sektor swasta, dan pemerintah semakin kuat, sehingga gerakan iklim tumbuh menjadi ekosistem nyata yang mendukung energi bersih dan ketahanan masyarakat dari akar rumput.
Harapannya sederhana namun mendasar yakni setiap negara—besar maupun kecil—memiliki ruang yang setara untuk menentukan masa depan bumi bersama. (Hartatik)
Foto banner: Masyarakat adat Pulau Aru, menuntut pengakuan atas peran kritis mereka menjaga keanekaragaman hayati. (Contentro PR/handout)


