Jakarta – Indonesia memperluas arah kebijakan iklimnya ke teknologi rendah karbon di COP30 di Belém, Brasil, dengan memperkuat kemitraan bersama Norwegia dalam transaksi karbon internasional. Melalui PT PLN (Persero), pemerintah menandatangani Mutual Expression of Intent Generation-Based Incentive Programme bersama Global Green Growth Institute (GGGI).
Dalam keterangan tertulis, Kamis, 20 November, Menteri Lingkungan Hidup RI Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa langkah ini menempatkan Indonesia di garis depan perdagangan karbon global.
Kesepakatan ini menjadi fase baru dalam hubungan iklim kedua negara, yang sebelumnya didominasi proyek berbasis alam (nature-based solutions) dan kini bergerak memasuki skema technology-based solutions di bawah mekanisme Pasal 6 Perjanjian Paris. Program tersebut mengusung potensi pengurangan emisi hingga 12 juta ton CO₂e, menjadikannya salah satu transaksi karbon terbesar dalam kerangka bilateral Indonesia–Norwegia.
“Hari ini kita mencapai titik penting yang menentukan capaian berikutnya dalam kerja sama Indonesia–Norwegia, serta menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu menjadi pemimpin dalam implementasi perdagangan karbon melalui skema Article 6 Paris Agreement,” ujar Hanif.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia selama ini berfokus pada kontribusi berbasis alam melalui skema Result-Based Contribution (RBC). Namun, penandatanganan terbaru menunjukkan kesiapan Indonesia memasuki ranah baru—memadukan teknologi dan dekarbonisasi industri untuk memperluas sumber mitigasi.
“Tonggak ini menegaskan komitmen Indonesia untuk menjadi pemimpin global, sebagaimana diarahkan Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat energi terbarukan melalui perdagangan karbon multisektor,” kata Hanif.
Dari pihak Norwegia, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Andreas Bjelland Eriksen menyambut positif kerja sama ini. Ia menilai kolaborasi Indonesia–Norwegia sedang bergerak menuju tahap yang lebih strategis.
“Bagi Norwegia, keberhasilan pelaksanaan program ini baru merupakan awal. Kami yakin langkah bersama ini akan membuka jalan bagi kolaborasi yang lebih luas di bidang teknologi dan investasi hijau,” ucapnya.
Eriksen juga menyampaikan optimisme terhadap kemampuan Indonesia memimpin pasar karbon berintegritas tinggi. “Kami meyakini bahwa program pertama ini dapat menunjukkan bahwa Indonesia siap untuk inisiatif semacam ini dan memiliki kapasitas untuk memperluas skalanya,” tambahnya.
PLN sebagai pelaksana teknis memandang kerja sama tersebut sebagai penguatan terhadap agenda transisi energi nasional. Direktur Teknologi, Engineering, dan Keberlanjutan PLN, Evy Haryadi, menyebut kolaborasi ini membuktikan bahwa perdagangan karbon bukan hanya instrumen finansial, tetapi bagian dari solusi iklim global.
“Perubahan iklim adalah persoalan global, yang membutuhkan kerja sama dan solusi kolektif dari seluruh dunia. Kesepakatan ini menjadi langkah konkret PLN dan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi bencana iklim yang semakin nyata,” katanya.
Menurut Evy, penandatanganan ini juga akan membuka jalan bagi skema pendanaan karbon berskala besar untuk proyek energi terbarukan Indonesia. “Dengan kemitraan bersama GGGI yang mewakili Norwegia, PLN tidak hanya menyiapkan transaksi karbon bilateral pertama di dunia, tetapi juga meletakkan dasar bagi skema carbon financing pertama dan terbesar untuk proyek energi terbarukan di Indonesia,” jelasnya.
Kesepakatan ini sekaligus memperkenalkan skema Generation-Based Incentive (GBI) yang dirancang untuk mendukung pencapaian target NDC Indonesia, mempercepat pengembangan energi baru terbarukan, dan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Dokumen tersebut kini menjadi landasan penyusunan Mitigation Outcome Purchase Agreement (MOPA), yang akan mengatur pembelian Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) dari Indonesia. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)


