
Jakarta — Pemimpin-pemimpin adat dari Indonesia dan Amazon bersatu di atas kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang berlayar di sepanjang Sungai Amazon, menuntut penghentian kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat di seluruh dunia.
“Hentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat! Segera sahkan RUU Masyarakat Adat!” seru Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selama perjalanan di atas kapal bendera Greenpeace Rainbow Warrior pada 12 November.
Rukka mengatakan bahwa komunitas adat, yang secara kolektif mewarisi pengetahuan ekologi yang vital, merupakan kunci dalam solusi perubahan iklim namun tetap terpinggirkan dalam negosiasi global. Ia menyoroti kriminalisasi yang terus berlangsung di Indonesia — dari Halmahera dan Flores hingga Sulawesi Tengah — di mana kelompok adat menghadapi persekusi hukum karena mempertahankan tanah leluhur mereka dari proyek pertambangan, geotermal, dan perkebunan.
AMAN telah mencatat 687 konflik agraria yang mencakup lebih dari 11 juta hektar selama dekade terakhir, dengan lebih dari 900 orang asli yang dijerat hukum. Kelompok tersebut kembali mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat yang telah tertunda lama, yang pertama kali diajukan pada tahun 2009.
Konvoi lebih dari 200 kapal dari 60 negara, yang membawa 5.000 perwakilan masyarakat adat, berlayar ke Belém untuk COP30 guna memprotes “solusi iklim palsu” dan menegaskan bahwa pengelolaan oleh masyarakat adat sangat penting untuk dunia yang berkelanjutan.
“Ini harus menjadi COP yang penuh aksi. Aksi untuk iklim, aksi untuk hutan, aksi untuk manusia,” kata Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali.

Hero Aprila, Pemuda Adat asal Bengkulu, ikut berlayar bersama ratusan pemuda adat dunia dalam ekspedisi “Yaku Mama Amazon Flotilla” menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil.
Perjalanan itu bukan sekadar pelayaran, melainkan simbol solidaritas lintas benua untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di tengah krisis iklim global. Hero hadir mewakili Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta Global Alliance of Territorial Communities (GATC).
“Kami dari Indonesia datang bukan hanya untuk ikut serta, tapi untuk bersuara. Persoalan yang dihadapi masyarakat adat di Amazon sama seperti di Indonesia: perampasan tanah, kriminalisasi, dan hilangnya ruang hidup,” ujar Hero dari Belém, Brasil, dalam keterangan tertulis, Senin, 10 November.
Ekspedisi Yaku Mama Amazon Flotilla dimulai dari Ecuador pada awal Oktober 2025 dan menempuh lebih dari 3.000 kilometer melewati Peru dan Kolombia sebelum berlabuh di Brasil. Kapal tiga tingkat berbahan kayu itu membawa lebih dari 50 pemuda adat dari berbagai negara di Amerika Latin.
Yaku Mama, yang berarti “Ibu Air”, menjadi simbol pelindung kehidupan dan penjaga sumber air dunia. Di badan kapal terbentang spanduk besar bertuliskan “End Fossil Fuels – Climate Justic.” “Bagi kami, berlayar di sungai terbesar di dunia ini bukan hanya pengalaman spiritual, tapi juga bentuk perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan iklim,” tutur Hero.
Aksi teatrikal ini sengaja dilakukan untuk menarik perhatian dunia agar isu masyarakat adat dan hak atas wilayah mereka mendapat tempat dalam perundingan iklim di COP30.
Suara dari Nusantara untuk Dunia
Hero juga membawa pesan penting tentang pendanaan iklim yang langsung menyentuh masyarakat adat, pelestarian pengetahuan leluhur, dan perlindungan terhadap para pembela hak-hak adat. Ia dijadwalkan menjadi pembicara dalam sejumlah forum di COP30, seperti Shandia Forum, Global Youth Roadmap for Climate Justice, serta Youth Movement yang digagas GATC.
Hero pun berbagi kisah tentang Masyarakat Adat Talang Mamak di Riau yang memiliki tradisi membuka lahan dengan cara membakar hutan terkendali, berdasarkan kearifan lokal. Namun, praktik itu sering dipersoalkan oleh hukum modern.
“Rupanya, persoalan yang sama juga terjadi di Amazon. Di balik ribuan kilometer jarak, kami menghadapi luka yang sama,” ujarnya.
Bagi Hero, pelayaran di atas Yaku Mama bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan simbol penyatuan perjuangan masyarakat adat dunia. “Kami berlayar membawa pesan bahwa masyarakat adat bukan korban, tapi penjaga bumi. Dunia harus mendengar suara kami,” katanya menutup percakapan. (Hartatik/nsh)
Foto banner: Armada kapal Masyarakat Adat berbagai wilayah Amazon berlayar di Sungai Amazon, Brasil, pada 12 November 2025. Barisan kapal ini mengangkut 5.000 orang Masyarakat Adat menuntut penghentian kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan aksi iklim yang nyata di COP30 yang sedang berlangsung di Belem, Brasil. (Christian Braga/Greenpeace)


