Jakarta – Agenda transisi energi yang dibahas pada Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, diharapkan tidak hanya fokus pada target penurunan emisi, tetapi juga memastikan ruang hidup masyarakat tidak dikorbankan. Dalam dialog publik secara darling bertajuk “Suara Rakyat untuk COP30”, Senin, 10 November, organisasi masyarakat sipil menegaskan, transisi energi yang adil harus bersandar pada komunitas, bukan merampas tanah, laut, dan sumber penghidupan.
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul sekaligus Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim, menilai pendekatan transisi energi sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat pesisir, nelayan, petani, perempuan, penyandang disabilitas, hingga masyarakat adat.
Ia menegaskan, krisis iklim bukan hanya soal bencana ekologis, tetapi juga ketidakadilan sosial. “Ketidakadilan iklim bukan hanya karena terjadi perubahan iklim, tetapi karena ketiadaan pengakuan hak atas tanah, diskriminasi terhadap disabilitas, dan kurangnya perlindungan sosial,” ujar Torry.
Menurutnya, COP30 harus menghasilkan komitmen nyata agar transisi energi tidak menjadi dalih untuk menguasai lahan atau mengusir masyarakat dari wilayah yang telah mereka tinggali turun-temurun.
Kekecewaan serupa datang dari A Subhan Hafidz, perwakilan Walhi Bangka Belitung. Ia menyebut program transisi energi di daerahnya justru menambah beban lingkungan dan sosial. Rencana pembangunan PLTN, kata dia, memicu kekhawatiran karena dilakukan di wilayah yang ekosistemnya sudah rentan akibat aktivitas tambang.
Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, warga merasakan langsung dampak perubahan iklim dan pengembangan pesisir. Asmania, seorang perempuan nelayan, menyebut reklamasi dan proyek pembangunan sering kali berlindung di balik narasi transisi energi, namun nyatanya memperburuk hidup warga.
“Dulu Pulau Pari dikenal dengan ekosistem laut yang sangat bagus. Sekarang kondisinya sudah buruk. Banjir rob sering terjadi, padahal dulu tidak pernah,” ujarnya.
Kelompok rentan masih tersisih
Dari kelompok penyandang disabilitas, Ketua HWDI Sulawesi Selatan, Maria Un, menyebut inklusi sering kali hanya formalitas. Kehadiran satu perwakilan difabel di suatu forum dianggap cukup, padahal tidak ada ruang untuk bersuara ataupun mempengaruhi kebijakan.
“Akses untuk mengutarakan masalah-masalah yang dialami perempuan disabilitas tidak diberikan. Partisipasi bermakna belum ada. Perempuan disabilitas masih sangat terabaikan,” katanya. Ia mendesak COP30 memastikan akomodasi, akses, dan perlindungan bagi penyandang disabilitas secara konkret dalam kebijakan iklim.
Di wilayah timur Indonesia, masyarakat adat Papua kembali menyampaikan kekhawatiran. Perwakilan Walhi Papua, Maikel Peuki, mengatakan izin industri ekstraktif seperti sawit dan tambang masih memperluas deforestasi dan mempersempit ruang hidup masyarakat asli.
“Hutan Papua yang dikenal sebagai paru-paru dunia pun terancam. Jangan menambah lagi izin-izin yang mengancam kehidupan masyarakat adat,” tegas Maikel.
Kelompok nelayan kecil, lewat Sekretaris KNTI Kota Ternate, Gafur Kaboli, meminta COP30 menguatkan perlindungan pesisir dan laut. Menurutnya, keputusan internasional tidak boleh mengabaikan kelompok yang paling terdampak perubahan iklim, tetapi paling sedikit menikmati hasil pembangunan.
Keinginan utama para aktivis dan warga terdampak iklim sama: transisi energi harus memulihkan lingkungan tanpa mengorbankan masyarakat. (Hartatik)
Foto banner: Pavilion Indonesia di COP30 Brasil. Foto oleh Raimundo Paccó/COP30


