Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang baru saja diserahkan pemerintah ke UNFCCC masih menunda aksi pengurangan emisi sektor energi dan bergantung berlebihan pada penyerapan emisi di sektor kehutanan dan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU).
Dalam pernyataannya Selasa, 29 Oktober, IESR mengkritisi skenario pertumbuhan ekonomi tinggi 8% yang digunakan pemerintah. Dalam skenario ini, penyerapan FOLU menjadi tumpuan utama mitigasi, sementara emisi sektor energi terus naik dan baru mencapai puncaknya pada 2038.
Pemerintah mengajukan SNDC pada 27 Oktober 2025, berdekatan dengan penyelenggaraan COP30. Berbeda dengan dokumen sebelumnya, target emisi kini ditentukan menggunakan angka absolut pada 2035 dengan tahun acuan 2019. Namun, dalam dua skenario target bersyarat yang dirancang, total emisi Indonesia justru diperkirakan terus meningkat hingga 2030 sebelum menurun secara bertahap.
Penyerapan emisi dari FOLU dipatok cukup besar, yakni mencapai -207 juta ton CO₂e pada 2035. Tanpa kontribusi sektor tersebut, total emisi bersih nasional diproyeksikan tembus 1.696 juta ton CO₂e pada 2035.
“Upaya penurunan emisi yang signifikan baru akan dimulai setelah 2035. Itu artinya satu dekade ini Indonesia masih berada pada jalur peningkatan emisi,” menurut IESR.
Pendekatan tersebut dinilai tidak efisien dan justru meningkatkan biaya transisi di masa mendatang, serta berpotensi membuat Indonesia tak selaras dengan ketentuan Persetujuan Paris.
Tidak sejalan dengan benchmark 1,5°C
Berdasarkan tolok ukur Climate Action Tracker (CAT), agar konsisten menjaga pemanasan global di batas 1,5°C, emisi absolut Indonesia tahun 2035 seharusnya berada di kisaran 720 juta ton CO₂e (di luar sektor FOLU). Target dalam SNDC tercatat lebih moderat bahkan dibandingkan proyeksi dalam RPJPN 2025–2045 sebesar 760 juta ton CO₂e (termasuk FOLU).
IESR menilai SNDC gagal mencerminkan “tingkat ambisi tertinggi” sebagaimana mandat Pasal 4 Persetujuan Paris. Dukungan internasional yang lebih besar pun akan sulit diharapkan jika level ambisi tak ditingkatkan.
Pada 2035, sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar dengan perkiraan mencapai 1.336 juta ton CO₂e — melonjak 103% dibanding 2019. Pemerintah berencana menambah porsi energi terbarukan menjadi 19–23% pada 2030 dan 36–40% pada 2040 serta memperluas kendaraan listrik. Namun, realisasi dianggap masih jauh dari visi transisi energi cepat.
“SNDC tidak mencerminkan ambisi Presiden Prabowo untuk 100% energi terbarukan dalam 10 tahun dan pembangunan 100 GW PLTS di desa-desa,” kata CEO IESR Fabby Tumiwa.
Menurutnya, kebijakan energi saat ini masih mempertahankan operasi PLTU tua yang seharusnya sudah bisa dipensiunkan.
Fabby menegaskan bahwa aksi iklim yang kuat justru dapat mempercepat pertumbuhan nasional, bukan menghambatnya. “Biaya listrik dari PLTS dan baterai sudah semakin kompetitif. Jika pemerintah tidak ragu mempercepat transisi energi, Indonesia akan mendapatkan listrik lebih murah dan emisi yang lebih rendah,” tegasnya.
IESR menilai investasi transisi energi di kisaran USD 40–50 miliar per tahun dapat menjadi pendorong ekonomi yang berkualitas, sejalan hasil pemodelan Bappenas dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI). (Hartatik)
Foto banner: Taufan Kharis/shutterstock.com
 
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 
