Target bauran EBT menurun dalam SNDC, bertolak belakang janji tripling energi

Jakarta – Pegiat masyarakat sipil soroti menurunnya ambisi target bauran energi terbarukan tahun 2030 dalam rancangan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang segera diserahkan ke forum iklim internasional.

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, SNDC mengatakan, Jumat, 24 Oktober, seharusnya SNDC menjadi dokumen yang menunjukkan langkah nyata Indonesia menghentikan ketergantungan pada energi fosil, bukan sebaliknya.

“Perlu komitmen yang jelas untuk menurunkan produksi bahan bakar fosil dan menghentikan proyek baru. Transisi energi harus adil, melindungi pekerja dan masyarakat tanpa mengorbankan tanah adat,” tegasnya.

Alih-alih memperkuat transisi menuju sumber energi yang lebih bersih, target bauran energi terbarukan dalam SNDC justru turun menjadi 19–23 persen. Padahal, pada dokumen Enhanced NDC sebelumnya, targetnya masih 26 persen.

Penurunan tersebut dinilai berlawanan dengan beberapa janji besar yang telah diumumkan pemerintah di panggung global. Indonesia sebelumnya menyatakan komitmen untuk melipatgandakan (tripling) energi terbarukan pada 2030 dalam forum G20 Brazil. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga telah menyampaikan rencana menghentikan penggunaan energi fosil dalam 15 tahun ke depan, atau tepatnya pada 2040.

Yayasan TIFA menyoroti bahwa beberapa proyek transisi energi justru berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Program Officer Natural Resources and Climate Justice Yayasan Tifa, Firdaus Cahyadi, menyampaikan bahwa ada kasus di mana pembangunan proyek energi bersih, seperti panas bumi, mengakibatkan penggusuran masyarakat dari ruang hidupnya.

“Jika masyarakat kehilangan tanah dan penghidupan, mereka makin rentan terhadap bencana iklim. SNDC tidak boleh melahirkan solusi yang justru memperlemah adaptasi masyarakat,” ujarnya.

Selain penurunan ambisi sektor energi, organisasi masyarakat sipil juga menilai bahwa proses penyusunan SNDC belum transparan. Masukan publik disebut tidak jelas tindak lanjutnya, sehingga menimbulkan keraguan terhadap legitimasi dokumen tersebut.

“Partisipasi publik tidak boleh hanya bersifat formalitas. Diperlukan mekanisme pelaporan terbuka yang bisa dilacak,” kata Firdaus.

Sisilia menambahkan bahwa peningkatan ambisi iklim justru dapat membuka peluang ekonomi baru. “Untuk sesuai jalur 1,5°C, bauran energi terbarukan perlu minimal 40 persen pada 2030, lalu 55 persen pada 2035,” ujarnya.

Masyarakat sipil menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh abai. Gelombang panas, krisis pangan, dan tekanan ekonomi akibat perubahan iklim akan semakin berat jika ambisi iklim kembali direduksi. “Indonesia berhutang pada generasi mendatang. Setiap peningkatan suhu sekecil apa pun berdampak besar,” tutur Sisilia. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles