IESR, ICEF dorong reformasi percepat investasi energi terbarukan

Jakarta – Melihat lambatnya laju investasi, IESR dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) mengajukan rekomendasi utama untuk mendorong serangkaian langkah reformasi agar energi terbarukan bisa lebih kompetitif.

Dalam diskusi Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, Selasa, 7 Oktober, kedua lembaga ini merekomendasikan, pertama, perbaikan perencanaan energi nasional. RUPTL dan kebijakan IPP perlu disusun secara transparan dan melibatkan publik serta pemerintah daerah. Perlu ada publikasi berkala rencana proyek EBT agar investor bisa menyiapkan strategi jangka panjang.

Kedua, reformasi Mekanisme Pengadaan Jadwal pembaruan DPT dibuat tetap dan diawasi langsung oleh Kementerian ESDM. Pemerintah menyusun kalender lelang nasional energi terbarukan yang transparan dan kompetitif. Akses pengembang baru dan startup dibuka melalui klasifikasi peserta berdasarkan aset dan pengalaman.

Ketiga, penguatan Peran PLN. PLN diusulkan membentuk entitas khusus atau anak perusahaan sebagai offtaker khusus proyek EBT. Pengadaan proyek kecil (<10 MW) bisa didelegasikan ke PLN wilayah dengan skema feed-in tariff nasional yang lebih sederhana.

Meski banyak tantangan, beberapa daerah sudah mulai menunjukkan arah perubahan. Di Pulau Timor, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menargetkan 47 persen energi terbarukan pada 2034. Berdasarkan kajian IESR, potensi energi terbarukan di pulau ini mencapai 30,81 GW, dengan dominasi tenaga surya sebesar 20,72 GW.

Dengan strategi yang tepat — seperti pembatalan proyek PLTU baru dan percepatan investasi pembangkit surya — NTT bisa menjadi laboratorium energi bersih Indonesia. Total investasi yang dibutuhkan hingga 2050 diperkirakan USD 1,54 miliar.

Sementara itu, Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat memiliki potensi energi terbarukan sekitar 10,21 GW, dengan fokus pada tenaga surya. Provinsi ini menargetkan net-zero emission pada 2050, melalui penggantian bertahap pembangkit fosil dengan hidrogen dan amonia hijau.

“Contoh dari timur Indonesia menunjukkan bahwa energi terbarukan bukan utopia — asalkan kebijakannya konsisten dan tarifnya kompetitif,” ujar Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR.

Ambisi menuju dekarbonisasi penuh pada 2060 tampaknya masih menghadapi jalan panjang dan berliku. Di satu sisi, pemerintah terus menegaskan komitmen transisi energi; di sisi lain, subsidi batu bara masih menjadi penghalang terbesar.

Selama tarif EBT tidak mencerminkan nilai sebenarnya dan PLN masih membandingkannya dengan listrik murah berbasis subsidi, pengembang akan terus menunggu di pinggir lapangan — bukan ikut bermain.

Transisi energi bukan sekadar urusan teknologi, tetapi juga soal keberanian mengubah kebijakan lama yang mengekang masa depan baru. (Hartatik)

Banner photo: Image generated by OpenAI’s DALL·E via ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles