Masyarakat sipil gugat RUKN, rencana energi nasional paksakan batu bara hingga 2060

Jakarta – Tim Advokasi Bersihkan Indonesia menilai rencana investasi jumbo senilai lebih dari USD1 triliun dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060 yang baru disahkan pemerintah justru memaksa Indonesia bertahan pada ketergantungan energi fosil hingga 2060, alih-alih mempercepat transisi ke energi terbarukan.

Tim Advokasi Bersihkan Indonesia menilai RUKN bertolak belakang dengan Perpres No 112/2022 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menegaskan percepatan pemensiunan PLTU batu bara.

“Alih-alih memensiunkan PLTU, RUKN ini justru membelokkannya. Gugatan ini kami ajukan agar pemerintah mencabut RUKN dan menyusun ulang dengan peta jalan energi terbarukan yang lebih realistis,” ujar Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, Jumat, 26 September, usai mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.

Alif menegaskan, hak atas lingkungan hidup yang sehat adalah hak asasi manusia. “Negara tidak boleh menutup mata terhadap dampak polusi dan krisis iklim. RUKN ini jelas merugikan rakyat,” katanya.

RUKN membutuhkan investasi mencapai USD1.092 miliar atau sekitar USD30,33 miliar per tahun. Skema ini mencakup perpanjangan operasi 54 GW PLTU batu bara hingga 2060, bahkan mencapai puncak 62,4 GW, dengan kombinasi 5–30 persen co-firing biomassa. Selain itu, pemerintah juga merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 35–44 GW.

“RUKN ini memilih jalan yang paling boros dan penuh risiko. Alih-alih menurunkan emisi dengan energi bersih, pemerintah justru memperpanjang operasi PLTU batu bara dan menambahkan solusi palsu seperti co-firing biomassa dan teknologi CCS yang mahal dan tidak terbukti,” tegas Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, Jumat, 25 September.

“Pemerintah punya pilihan. (Tapi) pilihan yang diambil justru memaksa bangsa ini membayar mahal untuk energi kotor sampai 2060,” kata Ashov.

Ashov mengingatkan, strategi ini akan membebani rakyat. “Harga listrik bisa melonjak, beban subsidi makin berat, sementara dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan dari PLTU terus menghantam masyarakat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara,” katanya.

Solusi mahal dan tidak realistis

Rencana penerapan carbon capture and storage (CCS) untuk PLTU dan gas juga dinilai tidak masuk akal. Hingga kini, hanya ada 4–5 PLTU di dunia yang menggunakan CCS, dengan biaya hingga 12 kali lipat lebih mahal dibanding energi terbarukan.

Sementara itu, kebijakan co-firing biomassa berpotensi mendorong deforestasi jutaan hektare untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Di sisi lain, investasi PLTN yang digadang-gadang sebagai solusi bersih dinilai berisiko karena keterbatasan cadangan uranium dalam negeri.

“Tarif listrik PLTN jelas lebih mahal dari tarif dasar listrik yang berlaku saat ini. Bahkan karena bahan baku harus impor, Indonesia bisa terjebak ketergantungan energi baru yang berisiko bagi kedaulatan energi,” ujar Wicaksono Gitawan, Program and Policy Manager CERAH.

Institute for Essential Services Reform (IESR) sebelumnya telah menghitung, jika Indonesia memperbesar porsi energi terbarukan, menghentikan PLTU lebih awal, mengurangi ketergantungan pada gas dan CCS, serta menghapus rencana nuklir, biaya bisa ditekan hingga sepertiga dari kebutuhan investasi RUKN saat ini. (Hartatik)

Foto banner: Indonesia Digital Campaigner 350.org

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles