ESDM: Praktik ESG jadi standar untuk industri energi dan tambang berkelanjutan

Jakarta – Pemerintah menegaskan bahwa praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) kini menjadi kewajiban, bukan lagi sekadar jargon. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM sekaligus Plt Dirjen Ketenagalistrikan, Tri Winarno, Kamis, 25 September, menyatakan penegakan standar ESG merupakan langkah penting untuk memastikan industri energi dan pertambangan berjalan secara berkelanjutan.

“Regulasi ESG terus diperkuat agar praktik pertambangan yang berpotensi mengubah keseimbangan lingkungan bisa ditekan dan dimitigasi. Keberlanjutan harus jadi standar, bukan pilihan,” tegas Tri Winarno dalam webinar “Meneropong Pencapaian ESG di Tengah HUT RI ke-80”.

Tri mengungkapkan, komitmen itu dibuktikan dengan langkah tegas Ditjen Minerba yang telah membekukan izin operasional 190 perusahaan tambang. Penyebabnya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak patuh menempatkan biaya jaminan reklamasi pasca tambang, dengan nilai kewajiban yang diperkirakan mencapai Rp35 triliun.

“Sebelum pencabutan izin, kami memberikan teguran dan waktu tindak lanjut. Jika perusahaan menunjukkan kepatuhan, izin dapat diaktifkan kembali. Prinsipnya, reklamasi dan pemulihan lingkungan pascatambang adalah kewajiban,” jelasnya.

Upaya penegakan ini membuat tingkat kepatuhan perusahaan meningkat signifikan. Jika sebelumnya hanya 39 persen perusahaan yang menempatkan jaminan reklamasi, kini angka tersebut naik menjadi 72 persen.

“Kepatuhan ini penting untuk menjaga fungsi lingkungan, sekaligus memperkuat kepercayaan publik,” imbuh Tri.

Selain itu, Ditjen Minerba tengah mengembangkan sistem perizinan berbasis digital untuk menekan tatap muka dan meminimalisasi potensi konflik kepentingan. Langkah ini sejalan dengan penerapan good corporate governance (GCG) di sektor minerba.

Pada kesempatan yang sama, sektor energi juga menunjukkan pergeseran menuju praktik ESG yang lebih serius. Tenaga Ahli SKK Migas, Muhammad Kemal, menyebut sektor hulu migas kini relatif lebih maju dalam aspek lingkungan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah perusahaan yang meraih PROPER Hijau hingga Emas, sementara tidak ada lagi perusahaan yang masuk kategori PROPER Merah.

“Banyak lapangan migas sudah meraih PROPER Emas. Fokus kami ke depan adalah penerapan program CCS/CCUS dan reforestasi dengan target penanaman 1,6–2 juta pohon per tahun,” ujar Kemal.

Di sektor ketenagalistrikan, Direktur Utama PT PLN Engineering, Chairani Rachmatullah, menegaskan bahwa praktik ESG menjadi strategi fundamental perusahaan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Ia mencontohkan pembangunan PLTS Cirata sebagai wujud percepatan energi terbarukan.

“Cuaca ekstrem akibat El Nino pernah mengganggu operasional PLTA. Karena itu, percepatan transisi energi terbarukan menjadi kebutuhan mendesak. ESG bukan sekadar jargon, tapi strategi jangka panjang,” jelas Chairani.

Komitmen serupa juga datang dari Komnas Disabilitas. Komisioner Kikin P. Tarigan menekankan bahwa implementasi ESG harus memasukkan aspek HAM, termasuk hak penyandang disabilitas. “Paradigma harus bergeser. Penyandang disabilitas jangan hanya jadi objek CSR, tapi subjek dalam penerapan ESG,” ujarnya.

Kikin juga menekankan pentingnya penerapan K3 di sektor tambang dan energi untuk mencegah risiko kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan disabilitas baru. Ia mencontohkan praktik baik sebuah perusahaan di Klaten yang mendukung keluarga pekerja penyandang disabilitas dengan bantuan permodalan dan program inklusi.

Dengan penguatan regulasi ESG, pemerintah berharap industri energi dan pertambangan nasional mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. “Ke depan, konsistensi ESG akan menjadi kunci menjaga keberlanjutan sektor minerba sekaligus mengamankan penerimaan negara,” tutup Tri Winarno. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles