Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai komitmen Pemerintah yang tercermin dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dan tidak sejalan dengan komitmen Presiden yang disampaikan di hadapan sidang umum PBB.
“Target penurunan emisi tanpa syarat lebih rendah 8 persen, sedangkan target bersyarat lebih rendah 9–17 persen di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Artinya, masih jauh dari jalur 1,5°C,” jelas Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) IESR, Rabu, 24 September.
Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB, Selasa, 23 September, menyatakan janjinya untuk mempercepat pencapaian net-zero emissions (NZE).
Second NDC merupakan dokumen kebijakan iklim nasional untuk periode 2031–2035, dan akan menjadi rujukan Indonesia dalam memenuhi Persetujuan Paris. Namun, menurut hasil konsultasi publik pada Agustus 2024, target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Second NDC relatif stagnan dibandingkan Enhanced NDC sebelumnya.
Fokus terlalu berat di kehutanan
Fabby menekankan, pemerintah seharusnya lebih serius menurunkan emisi dari sektor energi, bukan hanya mengandalkan sektor kehutanan dan lahan (FOLU).
“Kalau ingin sejalan dengan target Paris, bauran energi terbarukan kita harus 40–45 persen di 2030 dan 55 persen di 2035. Instruksi Presiden soal pembangunan 100 GW PLTS dan baterai memang positif, tapi implementasinya belum jelas,” ujarnya.
Selain itu, PP No. 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional yang baru diundangkan, menurut IESR, masih belum sesuai dengan peta jalan 1,5°C.
Untuk memperkuat kredibilitas iklim Indonesia, IESR mengajukan empat rekomendasi utama. Pertama, puncak emisi 2030 dan NZE 2050. Pemerintah perlu menetapkan puncak emisi di 2030 dan mencapai net zero paling lambat 2050 di semua sektor ekonomi. Target lebih ambisius. Kedua, rencana penurunan emisi dalam Second NDC harus ditinjau ulang agar adil dan sesuai jalur 1,5°C. Climate Action Tracker merekomendasikan level emisi 860 juta ton CO₂e pada 2030 dan 720 juta ton CO₂e pada 2035 (di luar FOLU).
Ketiga, kepastian sebelum COP-30. Indonesia perlu menyerahkan NDC terbaru ke UNFCCC paling lambat akhir September 2025 untuk menunjukkan komitmen sebelum COP-30 di Brasil.
Keempat, penguatan diplomasi iklim. Indonesia harus lebih proaktif di forum G20 dan BRICS untuk mendorong mitigasi ambisius dan mendukung agenda Presidensi Brasil.
Isu konsistensi komitmen
Menurut Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, terdapat perbedaan narasi antara janji Presiden Prabowo di forum global dengan kebijakan nasional yang sedang disusun.
“Di forum internasional, Presiden pernah menyampaikan target net zero sebelum 2050, penghentian PLTU dalam 15 tahun, dan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade. Namun, hal itu belum muncul dalam Second NDC. Perbedaan ini menimbulkan kebingungan,” tegasnya.
Delima menambahkan, penyusunan Second NDC seharusnya memanfaatkan hasil Global Stocktake (GST) pertama yang telah memberikan panduan jelas bagi negara-negara untuk memperkuat ambisi iklimnya.
IESR juga menekankan perlunya pensiun PLTU 9 GW hingga 2035, pembangunan energi terbarukan 100 GW, serta reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk menciptakan level playing field bagi energi bersih. Selain itu, percepatan efisiensi energi dan tindak lanjut komitmen Global Methane Pledge juga dipandang krusial.
“Kalau pemerintah benar-benar serius dengan janji Presiden di PBB, maka komitmen itu harus tercermin di Second NDC. Dokumen ini bukan sekadar formalitas, tapi peta jalan transisi energi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan,” pungkas Fabby. (Hartatik)
Foto banner: Presiden Prabowo Subianto berbicara di depan Sidang Umum PBB, Senin, 22 September 2025. Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev