Jakarta – Pemerintah mengatakan kebutuhan dana untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mencapai hampir Rp4.000 triliun hingga akhir dekade ini, sementara kapasitas APBN dan APBD hanya mampu menutup kurang dari 20 persen. Jalan Indonesia menuju target iklim 2030 masih dihadapkan persoalan kesenjangan pendanaan yang sangat besar.
“Kalau kita berdasarkan general update report ketiga di tahun 2021, kebutuhan untuk penurunan emisi sesuai NDC (Nationally Determined Contribution) kita sekitar 280 juta dolar AS, hampir Rp4.000 triliun sampai 2030. Dari APBN-APBD, yang bisa dibiayai hanya 18 persen. Artinya, lebih dari 80 persen harus ditutup dengan sumber lain,” kata Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH, Ary Sudijanto, saat Workshop Sinergi Penguatan Ekosistem Perdagangan Karbon secara daring, Jumat, 22 Agustus.
Untuk menambal celah besar tersebut, pemerintah menaruh harapan pada mekanisme pendanaan berbasis karbon. Salah satunya lewat skema results-based payment (RBP), di mana Indonesia sudah merasakan manfaat langsung. Dukungan dari Norwegia senilai USD 156 juta atas pengurangan emisi periode 2014–2016 menjadi bukti skema ini berjalan.
Di sisi lain, perdagangan karbon domestik juga mulai bergeliat. Ary menyebut lebih dari enam juta sertifikat penurunan emisi telah diterbitkan pemerintah. Dari jumlah itu, 3 juta sertifikat tersedia di pasar karbon, dengan 1,6 juta sudah laku terjual.
“Nilainya kira-kira hampir Rp78 miliar. Ini awal yang baik untuk membangun ekosistem perdagangan karbon di dalam negeri,” jelasnya.
Indonesia juga sedang menyiapkan voluntary carbon market melalui kerja sama internasional berbasis Mutual Recognition Agreement (MRA). Meski belum menjadi bagian resmi Paris Agreement, mekanisme ini diyakini potensial karena mendominasi 90 persen pasar karbon global.
Ary menekankan, skema pendanaan karbon bukanlah instrumen untuk mencari keuntungan fiskal. “Tujuannya sama sekali bukan membuat Indonesia kaya. Tujuan utamanya agar proyek-proyek iklim yang sering kali tidak layak secara ekonomi, seperti energi terbarukan dan pengelolaan sampah, bisa tetap terlaksana,” ujarnya.
Seiring waktu menuju 2030, ketika seluruh negara wajib menunjukkan capaian NDC, pemerintah memperkuat tata kelola melalui pengembangan Sistem Registri Nasional (SRN). Uji coba sistem ini dijadwalkan berlangsung pada akhir Agustus 2025.
Dengan kombinasi pendanaan internasional, pasar karbon domestik, serta penguatan regulasi, Indonesia berharap bisa menutup celah triliunan rupiah dan menjaga janji penurunan emisi 31,89 persen dengan usaha sendiri, atau hingga 43,2 persen dengan dukungan global. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)