Kadin dorong PLN terbitkan green bonds untuk biayai transmisi energi terbarukan

Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai penerbitan green bonds atau obligasi hijau oleh PT PLN (Persero) merupakan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan transmisi energi baru terbarukan (EBT) sekaligus menjaga kepercayaan investor global.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Aryo Djojohadikusumo, dalam forum Energy Insights bertajuk “The Energy We Share” di Jakarta, Rabu, 20 Agustus, menekankan bahwa hambatan terbesar transisi energi ada pada pendanaan infrastruktur transmisi yang menghubungkan pembangkit EBT dengan pusat-pusat beban listrik nasional.

“Internal rate of return (IRR) pembangunan transmisi hanya sekitar enam persen. Dalam dunia usaha angka itu terlalu kecil, sehingga investor swasta cenderung ragu untuk masuk. Karena itu PLN harus mengambil peran utama, dan green bonds menjadi instrumen tepat untuk menopang pendanaan,” ujar Aryo.

Menurut Aryo, Indonesia memiliki potensi energi bersih yang melimpah, mulai dari tenaga surya, hidro, angin hingga biomassa. Namun tanpa dukungan finansial hijau, peluang ini bisa tertinggal dari lonjakan permintaan listrik yang terus meningkat.

“Dengan green bonds, PLN tidak hanya memperluas jaringan transmisi hijau, tetapi juga mengirim sinyal positif bahwa Indonesia serius mempercepat transisi energi,” tegasnya.

Instrumen green bonds sendiri merupakan obligasi khusus yang seluruh dananya hanya boleh digunakan untuk proyek ramah lingkungan, seperti pembangkit terbarukan, sistem penyimpanan energi, hingga transmisi hijau. Model pembiayaan ini sudah banyak dipakai negara lain untuk meningkatkan daya tarik investasi internasional.

SEVP Hukum, Regulasi, dan Kepatuhan PLN, Nurlely Aman, menyambut baik gagasan tersebut. Ia menegaskan bahwa target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menempatkan 76 persen tambahan kapasitas berasal dari energi terbarukan.

“Pertanyaannya bukan lagi apa yang harus dilakukan, tapi bagaimana kita bisa mengeksekusinya bersama. PLN tidak bisa sendiri, dukungan swasta mutlak dibutuhkan,” kata Nurlely.

RUPTL terbaru juga menempatkan Independent Power Producer (IPP) sebagai penyumbang pendanaan lebih dari 70 persen kebutuhan investasi energi bersih. Untuk itu, PLN terus mengembangkan skema pembiayaan hijau, termasuk transition financing.

Kebutuhan energi rendah emisi juga dirasakan langsung dunia usaha. CEO Bosowa Corporindo, Subhan Aksa, mengungkapkan konsumsi listrik di Sulawesi Selatan tumbuh hingga sembilan persen per tahun. Namun fenomena iklim ekstrem memperbesar risiko krisis pasokan.

“Pada 2023, kekeringan ekstrem membuat PLTA kekurangan pasokan sehingga beberapa industri harus dikorbankan. Ini bukti bahwa energi terbarukan bukan beban, tapi peluang. Namun tanpa dukungan regulasi, swasta tidak bisa bergerak optimal,” jelas Subhan.

Di sisi lain, VP Operations DCI Indonesia, Lucas Adrian, menyoroti lonjakan kebutuhan energi akibat pertumbuhan pusat data yang mencapai compound annual growth rate (CAGR) 20 persen per tahun dalam 4–5 tahun ke depan.

“Data center adalah konsumen listrik besar. Kami harus memastikan service level agreement tetap terjaga, artinya pasokan listrik harus stabil. Solusi energi hijau sangat krusial untuk menopang pertumbuhan digital Indonesia,” ujarnya.

Dengan kebutuhan investasi pembangkit dan transmisi yang diperkirakan mendekati Rp3.000 triliun, usulan penerbitan green bonds oleh PLN diyakini menjadi momentum penting agar transisi energi Indonesia tidak hanya berjalan, tetapi juga menarik dukungan global. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles