Jakarta – Para pengamat menyuarakan keprihatinan akan ancaman berkurangnya pasokan gas dari sejumlah blok minyak dan gas (migas) tua di wilayah barat yang akan berdampak pada ketahanan energi Indonesia. Berkurangnya pasokan gas akan menghentikan produksi dan ribuan tenaga kerja pun dikhawatirkan akan kehilangan mata pencaharian.
Prof. Tumiran, pakar energi Universitas Gadjah Mada sekaligus mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rabu, 20 Agustus, mengatakan bahwa ancaman tidak terjaminnya pasokan gas dan terhentinya produksi sebagai akibatnya akan berpotensi berdampak pada hilangnya segmen pasar.
“(Akibat hilangnga) segmen pasar hilang, untuk mengembalikan kepercayaan pasar akan sangat sulit. Yang lebih bahaya, ribuan orang bisa kehilangan pekerjaan,” tegasnya.
Gas bumi selama ini menjadi penopang utama perekonomian nasional. Lebih dari 90% distribusinya dialirkan ke sektor strategis, mulai dari kelistrikan, petrokimia, pupuk, industri alas kaki, keramik, hingga kaca. Namun, pergeseran sumber pasokan dari gas pipa di barat ke Liquefied Natural Gas (LNG) di kawasan timur menimbulkan persoalan baru.
Selain harganya lebih mahal, sebagian besar LNG Indonesia—seperti dari Tangguh dan Bontang—sudah terikat kontrak ekspor.
“Kalau memang gas dalam negeri sudah didedikasikan untuk ekspor, ya sudah buka saja pasar impor. Jangan malu. Impor itu penting untuk menjaga ketahanan energi,” ujar Tumiran.
Mismatch pasokan dan permintaan
Pertumbuhan permintaan gas bumi yang meningkat pesat, ditopang pembangunan infrastruktur yang digarap PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Namun meningkatnya permintaan dari industri, UMKM, bahkan rumah tangga yang kini makin bergantung pada gas bumi, tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan dari hulu.
“PGN sekarang saja kesulitan mendapatkan pasokan. Kalau memang pasokan domestik tak cukup, sementara impor LNG harus dibuka. Apalagi sekarang harga LNG sedang turun,” jelas Tumiran.
Situasi kritis ini sudah dirasakan langsung pelaku usaha. Dengan menurun drastisnya pasokan gas, beberapa fasilitas produksi terpaksa berhenti. Rudy Ramadhan, Ketua Umum Indonesian Rubber Glove Manufacturers Association (IRGMA), mengungkapkan sejumlah pabrik di Tangerang mengalami penurunan tekanan gas.
“Beberapa pemanas bersuhu tinggi dimatikan, akibatnya produksi terhenti. Kalau sudah stop produksi, akan ada perumahan tenaga kerja,” katanya.
Kondisi serupa dialami Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo). Aliran gas yang menurun drastis memaksa pabrik menghentikan pemanas tungku untuk pengerjaan logam.
Pelaku industri kini menunggu langkah cepat pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memastikan pasokan gas domestik jangka panjang. Tanpa intervensi kebijakan, ancaman bukan hanya pada produktivitas, tetapi juga pada stabilitas sosial-ekonomi nasional.
“Masalah pasokan gas ini harus dijaga, karena kepentingan sosial ekonomi jauh lebih besar. Jangan sampai pekerja jadi korban dari krisis energi,” tutup Tumiran. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)