Pengamat: Indonesia perlu bentuk agregator gas nasional untuk atasi kelangkaan gas dalam negri

Jakarta – Kelangkaan pasokan gas di sejumlah daerah dalam beberapa bulan terakhir dinilai para pengamat sebagai bukti lemahnya tata kelola sektor gas di Indonesia. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai kondisi tersebut terjadi karena Indonesia belum memiliki lembaga khusus yang diberi mandat untuk mengkonsolidasikan pasokan gas dan memastikan ketersediaan di pasar domestik.

Meski neraca nasional menunjukkan surplus, kenyataannya beberapa wilayah justru mengalami defisit pasokan. Menurut Komaidi, Selasa, 19 Agustus, pemerintah perlu membentuk agregator gas nasional, serupa dengan model yang diterapkan di Malaysia dan Thailand. “Fungsi agregator gas pada dasarnya seperti Bulog di sektor pangan, memiliki posisi penting untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen,” kata Komaidi.

Pada bulan Agustus 2025 wilayah Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat menghadapi kekurangan pasokan sekitar 130,90 BBTUD. Tanpa tambahan pasokan, para pengamat memperkirakan keadaan ini akan terus berlanjut hingga Desember 2025, dengan total kekurangan pada periode September–Desember mencapai 566,70 BBTUD.

Komaidi menjelaskan, Malaysia telah menugaskan Petronas sebagai agregator tunggal gas. Seluruh pasokan gas domestik dan LNG impor dikonsolidasikan oleh Petronas, lalu disalurkan melalui jaringan Peninsular Gas Utilisation (PGU) yang dioperasikan Petronas Gas Berhad. Sementara itu di Thailand, peran serupa dijalankan oleh PTT Public Company Limited (PTT PCL), yang bertindak sebagai single buyer untuk pasokan domestik, impor LNG, maupun gas pipa dari Myanmar.

Menurutnya, model ini membuat harga gas lebih stabil dan ketersediaan pasokan lebih terjamin. “Ketika produksi gas dalam negeri melimpah, agregator bisa menyerap hasil produksi kontraktor sehingga harga tetap terjaga. Sebaliknya, saat harga internasional melonjak, agregator bisa mengoptimalkan cadangan atau mengatur pasokan agar konsumen domestik tidak terkena dampaknya,” ujarnya.

Komaidi menambahkan, lebih dari 90 persen pangsa pasar dan infrastruktur gas di Indonesia saat ini sudah dikuasai Pertamina Group. Karena itu, menurutnya, Pertamina melalui Subholding Gas (PGN) menjadi pihak yang paling potensial dan logis ditugaskan sebagai agregator dan integrator gas nasional.

Kelangkaan gas yang belakangan terjadi disebabkan sejumlah faktor, antara lain penurunan alamiah produksi (natural decline) di hulu, gangguan tak terencana (unplanned shutdown) dari pemasok, mundurnya jadwal tambahan pasokan, hingga belum adanya komitmen alokasi LNG untuk menutup defisit. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles