Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menggandeng Konservasi Indonesia (KI) dalam kemitraan strategis yang bertujuan memperkuat kapasitas kelembagaan serta mengembangkan penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di tingkat nasional dan daerah.
“Potensi NEK di Indonesia sangat besar, tetapi implementasinya juga menghadapi tantangan yang tidak sederhana,” ujar Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola NEK KLH, Ary Sudijanto, dalam pernyataan resmi pada Jumat, 1 Agustus.
Menurutnya, kemitraan ini mencakup aspek teknis, mulai dari penyusunan kebijakan, dukungan data dan informasi, hingga tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Ary menekankan pentingnya sinergi multipihak—pemerintah, dunia usaha, mitra pembangunan, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa perdagangan karbon mampu menghasilkan manfaat ekonomi berkelanjutan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan hak-hak komunitas lokal. “NEK bukan semata-mata instrumen pasar, tetapi fondasi utama dalam pengelolaan iklim nasional secara efektif dan adil,” tegasnya.
Ruang lingkup kerja sama KLH dan KI mencakup penguatan sistem kebijakan, dukungan teknis dalam agenda internasional, hingga keterlibatan aktif dalam diplomasi iklim global. Kolaborasi ini juga membuka jalan bagi partisipasi Indonesia dalam mutual recognition agreement dengan skema sertifikasi karbon internasional serta mekanisme bilateral, regional, dan multilateral, termasuk kerangka kerja UNFCCC.
“Seluruh komponen kebijakan iklim harus berjalan terintegrasi, dari regulasi pusat sampai pelaksanaan di daerah. Kekuatan sistemik inilah yang dibutuhkan agar target pengurangan emisi nasional bisa tercapai,” jelas Ary.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Vice President dan Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, menyampaikan bahwa kolaborasi ini merupakan bentuk nyata komitmen KI dalam mendukung agenda iklim nasional dan global secara ilmiah dan inklusif.
“Konservasi Indonesia mendukung pencapaian NDC Indonesia yang menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional. Semua itu mengarah pada target netral karbon pada 2060,” jelas Meizani.
Ia juga menambahkan bahwa potensi ekonomi dari kebijakan NEK sangat signifikan, dengan estimasi mencapai USD16,7 miliar pada tahun 2030. Karenanya, penting untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi mampu diterjemahkan ke dalam sistem yang kredibel, transparan, dan akuntabel di mata internasional.
Selain mendukung penyusunan regulasi, KI akan berperan dalam penguatan sistem NEK melalui pelatihan, penyebaran informasi, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan. Laporan berkala mengenai capaian dan evaluasi pelaksanaan program akan disusun sebagai bagian dari komitmen terhadap transparansi dan efektivitas implementasi.
Kolaborasi ini diharapkan menjadi contoh praktik baik dalam membangun kerangka kerja iklim yang tangguh, terintegrasi, dan berbasis ilmu pengetahuan—sekaligus memperlihatkan posisi Indonesia sebagai pemain aktif dalam panggung diplomasi iklim global. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)