Penutupan tambang di Raja Ampat guncang pasar nikel global, menurut EBC Financial Group

Jakarta – Langkah Indonesia untuk mencabut izin pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, yang secara ekologis sangat sensitif, telah mengguncang pasar komoditas global, menurut EBC Financial Group dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, 2 Juli.

Sementara kelompok-kelompok lingkungan hidup memuji keputusan tersebut sebagai kemenangan yang signifikan bagi konservasi, para pedagang dan investor sekarang bersiap-siap untuk menghadapi dampak yang lebih luas terhadap harga nikel dan ekonomi Indonesia yang digerakkan oleh ekspor. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, yang memasok lebih dari 50% produksi nikel olahan global pada tahun 2024.

“Bagi para pedagang dan investor, ini merupakan peringatan bahwa pasar komoditas, terutama di sektor-sektor penting seperti nikel, dapat menjadi sangat sensitif terhadap tekanan kebijakan lingkungan hidup,” ujar David Barrett, CEO EBC Financial Group (UK) Ltd.

Keputusan pemerintah ini berdampak pada empat operasi pertambangan di dalam kawasan keanekaragaman hayati laut yang dilindungi UNESCO, meskipun satu proyek besar tetap berlanjut di luar zona terlarang. Tantangan hukum dari perusahaan-perusahaan pertambangan sedang berlangsung, menambah ketidakpastian lebih lanjut pada sektor ini.

Meskipun Raja Ampat sendiri bukan merupakan pusat produksi, EBC mencatat bahwa penutupan ini menandakan adanya perubahan peraturan yang lebih luas di Indonesia, yang dapat mengganggu prakiraan pasokan dan sentimen investor.

Harga nikel, yang sempat merosot di bawah USD 15.000/ton pada awal tahun ini karena kelebihan pasokan dan kekhawatiran tarif AS, sejak saat itu telah pulih ke sekitar USD 16.700/ton. Tetapi EBC memperingatkan bahwa volatilitas dapat kembali jika pertempuran hukum meningkat atau pembatasan lebih lanjut diumumkan.

Barret mengatakan bahwa rebound nikel dapat menutupi risiko volatilitas yang lebih dalam, dan menambahkan bahwa penurunan produksi dapat membebani surplus perdagangan Indonesia dan menekan rupiah, yang berpotensi memicu pergeseran kebijakan moneter.

Dari baterai kendaraan listrik hingga baja tahan karat, yang masih menyumbang lebih dari dua pertiga permintaan global, nikel tetap penting bagi industri global. Setiap gangguan pada pasokan Indonesia, menurut EBC, dapat merembet ke seluruh sektor industri di seluruh dunia dan memicu tekanan inflasi yang lebih luas.

Dengan semakin ketatnya pengawasan ESG terhadap sumber nikel, EBC mendesak para pedagang untuk memantau perkembangan politik dan fundamental pasar dengan cermat.

Penambangan nikel picu krisis sosial dan lingkungan

Industri nikel Indonesia dikecam, karena para ahli memperingatkan akan meningkatnya kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh praktik-praktik penambangan dan peleburan yang tidak terkendali. Mulai dari polusi air yang parah hingga emisi yang tinggi dan seringnya terjadi kecelakaan kerja, pertumbuhan sektor ini menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan dan hak asasi manusia.

Al Ayubi, seorang ahli strategi kebijakan di CERAH, hari Selasa, menggambarkan situasi ini sebagai “bom waktu”, dan mendesak pemerintah untuk membuat standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) yang mengikat secara hukum, bukan bersifat sukarela. Ia menyoroti bahwa smelter-smelter di Indonesia mengeluarkan hingga 58,6 ton CO2 per ton nikel, lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas-fasilitas seperti BHP Nickel West di Australia.

Masyarakat sudah menderita, katanya. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, penduduk melaporkan bahwa sumber air yang tercemar akibat pertambangan di dekatnya, sementara 93 kecelakaan kerja telah terjadi di sektor ini dari tahun 2015 hingga 2023.
Ayubi menyerukan agar insentif fiskal dan perizinan dikaitkan dengan kinerja LST, termasuk penggunaan energi bersih, perlindungan hak-hak masyarakat adat, dan rehabilitasi lahan.

Patricia Rinwigati dari Pusat Penelitian Djokosoetono Universitas Indonesia menyuarakan perlunya regulasi LST, dengan menyatakan bahwa standar hukum harus mengintegrasikan kerangka kerja nasional dan internasional. Ia menekankan pentingnya uji tuntas dan akuntabilitas.

Andre Barahamin dari Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) menekankan pentingnya menjunjung tinggi Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) – hak masyarakat adat untuk menolak proyek-proyek pertambangan di tanah adat mereka. Ia memperingatkan bahwa ESG tidak boleh diperlakukan sebagai alat pencitraan semata, tetapi lebih sebagai sarana penting untuk mencegah konflik dan kerusakan lingkungan jangka panjang.

Karena pasar global semakin menuntut sumber mineral penting yang bertanggung jawab, para ahli sepakat bahwa tanpa reformasi hukum segera, Indonesia berisiko mengalami kerusakan jangka panjang dan kehilangan kredibilitas dalam transisi menuju ekonomi hijau. (Hartatik/nsh)

Foto banner: Pertambangan nikel di Sulawesi Selatan (Putu Artana/shutterstock.com)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles