Bisnis bertahan lewat integritas: Saatnya serius menjalankan uji tuntas HAM

oleh: Rinawati Eko PL*

Di tengah dunia yang semakin transparan, bagaimana sebuah perusahaan memperlakukan manusia bukan lagi urusan internal belaka. Dari ruang rapat, pabrik, hingga desa-desa di sekitar konsesi lahan, praktik bisnis kini meluas bukan lagi semata-mata melakukan kegiatan produksi yang efisien untuk menghasilkan produk berkualitas, tetapi menjadi kegiatan yang sadar nilai. Nilai di sini tidak semata menggambarkan aspek ekonomi namun juga nilai sosial yang diperhitungkan sebagai risiko oleh para investor dan menjadi tuntutan dari komunitas global. 

Maka, bisa dikatakan bertahan di dunia usaha hari ini bukan lagi soal siapa yang paling efisien atau paling cepat berkembang, tapi juga siapa yang paling berintegritas.

Sayangnya, integritas kerap jadi kata yang terlalu besar untuk dipegang. Dalam konteks sosial misalnya, banyak perusahaan sudah memasukkan komitmen penghormatan HAM dalam dokumen kode etik atau laporan keberlanjutan. Tapi ketika ditelisik lebih dalam, tak jarang komitmen itu berhenti di atas kertas. Sering kali ditemukan masalah seperti para buruh kontrak masih dipekerjakan tanpa perlindungan memadai, komunitas adat tak dilibatkan dalam perencanaan penggunaan lahan, hingga vendor dalam rantai pasok yang mengabaikan standar kerja layak. Ada kesenjangan antara komitmen dan aksi. Dan disitulah integritas kehilangan maknanya. 

Perlu langkah lebih konkret dan sistematis yang bisa diterapkan untuk memastikan komitmen HAM dimanifestasikan dalam sistem manajemen operasional perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, pegiat HAM dan bisnis mempromosikan mekanisme Human Rights Due Diligence (HRDD) sebagai proses terstruktur untuk mengenali, mencegah, dan menangani potensi dampak negatif terhadap HAM dalam seluruh rantai bisnis, serta upaya untuk pemulihan jika terbukti terjadi pelanggaran HAM. HRDD menjadi unsur strategis UN Guiding Principles on Business and Human Rights, dan kini mulai diadopsi dalam berbagai regulasi nasional serta standar keberlanjutan internasional. Beberapa perusahaan, seperti The Coca-Cola Company dan PT Bumi Resources, telah mulai menerapkan HRDD sebagai tolok ukur bisnis yang bertanggung jawab. 

Ketika dijalankan secara kontekstual dan konsisten, HRDD bukan hanya membantu perusahaan menghindari pelanggaran, tapi juga menjadi alat strategis dalam membangun sistem pemantauan internal, menciptakan transparansi, dan menyusun kebijakan yang berbasis hak. Singkatnya, HRDD adalah bagian penting dari manajemen risiko bisnis yang visioner—bukan sekadar alat kepatuhan, tetapi fondasi untuk keberlanjutan jangka panjang.

Ironisnya, pelanggaran HAM dalam dunia usaha justru sering terjadi dalam senyap—tanpa sorotan media, tanpa gejolak publik. Namun dampaknya bisa sangat merusak dan berkepanjangan: Boikot produk oleh konsumen, pemutusan kontrak oleh mitra dagang, gugatan hukum, hingga hilangnya kepercayaan dari investor dan masyarakat luas.

Kini saatnya perusahaan melihat HRDD sebagai investasi strategis, bukan beban administratif.

Dengan menjadikan penghormatan terhadap HAM sebagai pilar utama pengambilan keputusan, perusahaan tidak hanya melindungi reputasinya, tetapi juga membangun pondasi bisnis yang kokoh, beretika, dan relevan dengan tuntutan zaman.

*Penulis adalah staf di CRU Indonesia

Artikel ini merupakan bagian dari program kemitraan media dengan tanahair.net

CRU Indonesia menyelenggarakan lokakarya pelatihan “Menjalankan Uji Tuntas HAM dalam Praktik Bisnis Perusahaan”, pada 24–26 Juni 2025 di Bandung.

Daftar di sini: https://forms.gle/Vum8wxUWqjBCuxGf7

Kontak Agwina Dieta – agwinadieta@cruindonesia.org | 0811 1111 447

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles