Jakarta – Pemerintah Indonesia akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, menyusul meningkatnya keprihatinan dari masyarakat dan kelompok-kelompok lingkungan hidup terhadap dampak industri tersebut terhadap salah satu kawasan ekowisata yang menjadi ikon Papua. Pengumuman ini disampaikan dalam sebuah pernyataan resmi pada hari Selasa, 3 Juni.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyoroti pentingnya pelaksanaan pertambangan yang tidak hanya patuh pada ketentuan teknis, tetapi juga menjunjung kaidah lingkungan dan nilai-nilai lokal Papua.
“Saya akan panggil pemilik usahanya, baik BUMN maupun swasta. Kita harus memastikan semua kegiatan tambang mematuhi aturan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan tidak merusak kearifan lokal yang ada,” ujar Bahlil.
Ia menekankan bahwa Papua merupakan daerah otonomi khusus, sehingga pendekatan terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayah ini tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Ia menyadari ada aspirasi masyarakat setempat yang perlu dihargai dalam pengambilan keputusan.
“Di Papua itu perlakuannya harus khusus. Ada kemungkinan pendekatannya selama ini kurang tepat. Kita akan evaluasi ulang agar tidak ada ketegangan antara investasi dan masyarakat,” jelas Bahlil.
Pulau Gag sendiri saat ini menjadi wilayah operasi PT Gag Nikel Indonesia, anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi. Namun, sorotan terhadap dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas tambang di kawasan itu terus meningkat.
Sorotan aktivis: Pariwisata alam terancam
Aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyampaikan kekhawatirannya bahwa ekspansi tambang di Raja Ampat, termasuk di Pulau Gag, telah mengancam eksistensi wilayah yang seharusnya dilindungi.
“Raja Ampat adalah salah satu destinasi wisata alam terbaik di Indonesia. Kini keindahannya dalam kondisi terancam akibat pertambangan nikel yang terus meluas,” ujar Kiki dalam unggahan video di akun Instagram Greenpeace, Minggu, 1 Juni.
Greenpeace menyebutkan bahwa aktivitas tambang tidak hanya terjadi di Pulau Gag, tetapi juga merambah Pulau Kawe dan Pulau Manuran, yang turut mengganggu ekosistem laut dan daratan. Lubang tambang dan sedimentasi menjadi ancaman langsung bagi keanekaragaman hayati Raja Ampat.
Organisasi tersebut juga menyoroti bahwa izin usaha pertambangan telah diberikan hampir di seluruh pulau di Raja Ampat, termasuk pulau-pulau kecil, yang dinilai sangat rentan terhadap kerusakan permanen.
Menanggapi hal itu, Bahlil memastikan pemerintah akan melakukan evaluasi yang mengacu pada dokumen Amdal dan menyesuaikan tata kelola tambang agar tetap menjamin keberlanjutan lingkungan.
“Kalau Amdalnya menyebut harus dijaga, ya kita harus jaga. Tidak boleh ada pelanggaran. Ke depan, kami ingin pastikan bahwa investasi tidak boleh mengorbankan lingkungan atau menabrak kearifan masyarakat lokal,” tegasnya. (Hartatik)
Foto banner: Aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Sumber foto: Greenpeace)