Jakarta – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang diumumkan pada Senin, 26 Mei, memproyeksikan total kebutuhan investasi mencapai Rp 2.967,4 triliun, dengan porsi besar dialokasikan untuk sektor pembangkitan. Dari total tersebut, atau sekitar 72 persen), Rp 2.133 triliun diperuntukkan untuk pembangkitan listrik.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah membuka lebar pintu investasi swasta dalam pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) selama sepuluh tahun ke depan. Menariknya, 73 persen di antaranya dirancang untuk partisipasi swasta atau independent power producer (IPP). Pemerintah mencatat bahwa Rp 1.341,8 triliun dialokasikan khusus untuk pembangkit EBT swasta, menjadikannya peluang strategis untuk investor energi bersih.
“Peluang investasi dari 2024 sampai 2034 sebesar hampir tiga ribu triliun rupiah, dan IPP akan memainkan peran penting, terutama dalam pembangunan pembangkit EBT,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers.
Proporsi EBT kian dominan, PLTS dan PLTA jadi andalan
Dari target penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt (GW) selama periode RUPTL, sebanyak 42,6 GW atau 61 persen dirancang berasal dari EBT. Sisanya terdiri dari 16,6 GW pembangkit fosil (24 persen) dan 10,3 GW dari sistem penyimpanan energi (15 persen).
Untuk bauran EBT, pemerintah menargetkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 17,1 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 11,7 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 7,2 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 5,2 GW, Bioenergi 0,9 GW, dan Pembangkit Nuklir 0,5 GW.
Sementara untuk sistem penyimpanan, akan dikembangkan pumped Storage 4,3 GW, baterai 6 GW. “Ini bukan hanya soal bauran energi. Kita sedang bicara tentang transisi energi yang strategis, untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” jelas Bahlil.
Penambahan kapasitas pembangkit akan dibagi menjadi dua fase utama yakni 2025–2029 sebesar 27,9 GW (dengan komposisi EBT dan fosil relatif seimbang). Lalu 2030–2034 sebesar 41,6 GW (EBT mendominasi 73 persen). Distribusi wilayah pengembangan pembangkit puncukup merata, mencakup Jawa-Madura-Bali 33,5 GW, Sumatera 15,1 GW, Sulawesi 10,4 GW, Kalimantan 5,8 GW, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara 4,7 GW
“Jadi ini harus berkelanjutan, harus dua periode. Kalau hanya satu periode, nanti outputnya tidak maksimal,” tegas Bahlil.
Serap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja
Selain potensi investasi besar, proyek RUPTL 2025–2034 juga diprediksi akan menyerap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja. Sektor konstruksi, manufaktur, hingga operasi dan pemeliharaan pembangkit serta jaringan distribusi akan jadi penopang utama penciptaan lapangan kerja baru.
Rinciannya, sebanyak 881.132 orang akan terserap di sektor industri manufaktur, transmisi, gardu induk, dan distribusi listrik.
Sementara itu, PT PLN (Persero) mendapat alokasi investasi sebesar Rp 567,6 triliun, dengan Rp 340,6 triliun di antaranya untuk pembangkit EBT dan Rp 227 triliun untuk non-EBT.
Dibandingkan dengan IPP yang mengelola lebih dari Rp 1.566 triliun, terlihat jelas bahwa arah kebijakan pemerintah kali ini adalah membuka ruang luas bagi investor swasta dalam proyek energi hijau.
RUPTL 2025–2034 menjadi peta jalan yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengejar target net zero emission dan mengurangi emisi karbon. Dengan porsi investasi terbesar pada pembangkit EBT swasta, dokumen ini diharapkan menjadi motor utama transisi energi nasional.
“Kami membuka ruang selebar-lebarnya untuk investasi, terutama dari sektor swasta yang ingin berkontribusi dalam pengembangan energi bersih,” pungkas Bahlil. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)