Pemerintah dorong pendanaan dari program CRIC, bangun ketangguhan iklim di 10 kota

Jakarta – Pemerintah dorong pembiayaan iklim alternatif melalui kerja sama internasional seperti Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC), program yang didanai sebagian oleh Uni Eropa dan difokuskan pada pembangunan ketangguhan iklim di kota-kota di Asia Tenggara.

Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, dalam keterangan resmi pada forum Climate Resilience and Innovation Forum (CRIF) 2025, Rabu, 21 Mei, mengatakan bahwa besarnya tantangan perubahan iklim — mulai dari bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan laut, hingga ancaman kekeringan ekstrem — menuntut dana yang jauh lebih besar dari yang saat ini tersedia.

Menurutnya, porsi anggaran negara untuk perubahan iklim masih tergolong rendah, meski isu ini menjadi salah satu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Pemerintah pusat hanya mengalokasikan 4,3 persen dari APBN untuk pendanaan terkait iklim, atau rata-rata sekitar Rp 102,65 triliun per tahun.

“CRIC menjadi salah satu pendekatan strategis kami untuk menjawab keterbatasan pendanaan iklim melalui kemitraan dan penguatan kapasitas lokal,” ujar Safrizal.

“Tentu kami berharap anggaran perubahan iklim bisa terus meningkat. Jangan berhenti di 4,3 persen. Bahkan, kami mendorong agar pemerintah daerah melalui APBD juga turut memberikan kontribusi lebih besar,” katanya.

10 kota jadi lokasi CRIC, Samarinda diwarnai risiko ganda

Di Indonesia, CRIC dijalankan di 10 kota: Pekanbaru, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Cirebon, Mataram, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Kupang, dan Ternate. Salah satu kota yang menjadi perhatian serius adalah Samarinda, yang menghadapi tantangan iklim ekstrem berupa kekeringan panjang dan banjir berulang.

“Samarinda ini kasusnya kompleks. Di satu sisi musim kering terasa ekstrem, tapi di musim hujan banjir luar biasa. Ini akibat dari konversi lahan yang masif, lemahnya sistem pengendalian banjir, dan juga minimnya kesadaran masyarakat,” terang Safrizal.

Ia juga menyoroti maraknya pembakaran lahan ilegal, yang memperparah kerentanan lingkungan kota tersebut.

Melalui program CRIC, Kemendagri bersama mitra internasional memberikan sejumlah rekomendasi strategis bagi pemerintah kota peserta. Untuk Samarinda, Safrizal mengungkapkan lima poin utama. Pertama eningkatan kapasitas sumber daya internal yang dilakukan secara berkala dan terstruktur.

Kedua evaluasi dan pemantauan berkelanjutan guna memastikan efektivitas tindakan adaptasi dan kesesuaian dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ketiga investasi infrastruktur tangguh bencana, terutama sistem drainase dan pemulihan wilayah terdampak. Keempat pendidikan berbasis iklim, yang diarahkan untuk meningkatkan kesadaran individu sejak dini. Kelima kebijakan berpihak pada kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin yang lebih rentan terhadap dampak krisis iklim.

“Data akurat sangat penting. Kita butuh sistem komunikasi data yang canggih, karena saat ini masih banyak data tidak sinkron. Ini perlu terus kita perbaiki,” tegasnya.

Safrizal menekankan bahwa adaptasi perubahan iklim tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat. Peran serta pemerintah daerah, akademisi, masyarakat sipil, hingga sektor swasta sangat krusial untuk memastikan keberhasilan jangka panjang.

“Climate resilience itu tidak bisa dibangun hanya dari atas. kota-kota harus menjadi aktor utama perubahan, dan program seperti CRIC adalah contoh konkret bagaimana kapasitas lokal diperkuat lewat kolaborasi global,” pungkasnya. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles