Jakarta – Gagasan pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi untuk mendukung pendanaan kampus menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Langkah ini dinilai tidak masuk akal dan mencerminkan model pembangunan yang terus mengandalkan eksploitasi sumber daya alam dengan dampak lingkungan yang merusak.
“Pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang sangat tidak logis. Ini menunjukkan pola pikir yang keliru dalam mengelola sumber daya alam,” ujar Firdaus Cahyadi, Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis, 23 Januari.
Firdaus menegaskan bahwa pendanaan perguruan tinggi seharusnya dilakukan melalui cara-cara yang lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. “Masih banyak solusi kreatif yang bisa digunakan untuk mendukung keuangan kampus tanpa harus mengorbankan ekosistem dan masyarakat sekitar,” tambahnya.
Model pembangunan ekstraktif
Rencana ini muncul seiring revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang membuka kemungkinan perguruan tinggi menerima konsesi tambang. Firdaus menilai kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah masih berpegang pada model pembangunan ekstraktif yang berpotensi memperparah kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
“Pemberian konsesi tambang kepada kampus hanya akan memperburuk masalah lingkungan hidup dan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk membenarkan kerusakan ini dengan dalil-dalil ilmiah,” jelas Firdaus.
Menurutnya, perguruan tinggi seharusnya menjadi lembaga yang mendorong kesadaran ekologis dan inovasi berkelanjutan, bukan sebaliknya. “Jika kampus ikut terlibat dalam bisnis tambang, ini sama saja menciptakan konflik kepentingan yang merusak integritas akademik dan kepercayaan masyarakat,” lanjutnya.
Firdaus juga mengkritik alasan nasionalisme yang sering digunakan untuk membenarkan konsesi tambang kepada pihak nasional, termasuk perguruan tinggi. Menurutnya, argumen ini tidak relevan karena daya rusak tambang tidak berubah, siapa pun pengelolanya.
“Apakah tambang dikuasai asing atau nasional, dampak ekologis dan sosialnya tetap sama. Kerusakan lingkungan, pencemaran air, dan konflik masyarakat adalah dampak nyata dari model pembangunan berbasis tambang,” tegasnya.
Ia menyerukan agar publik lebih kritis terhadap kebijakan semacam ini dan tidak mudah terpengaruh oleh retorika nasionalisme. “Jangan sampai kita terkecoh dengan alasan yang hanya mengaburkan fakta bahwa tambang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal,” tambah Firdaus.
Lebih jauh, Firdaus menduga pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi dan organisasi massa (ormas) keagamaan adalah upaya untuk meredam perlawanan terhadap kerusakan lingkungan. “Ormas keagamaan yang menerima konsesi bisa menggunakan tafsir agama untuk membenarkan tambang, sementara perguruan tinggi akan memproduksi pembenaran ilmiah yang mendukung eksploitasi ini,” jelasnya.
Menurutnya, langkah ini justru akan memperkuat resistensi masyarakat yang sudah mulai sadar terhadap pentingnya menjaga lingkungan. “Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral dan pengetahuan yang seharusnya menjadi landasan ormas agama dan perguruan tinggi,” kata Firdaus.
Firdaus menegaskan, pemerintah dan perguruan tinggi perlu mencari solusi yang lebih berkelanjutan untuk pendanaan pendidikan. “Ada banyak alternatif yang bisa dikembangkan, seperti kemitraan dengan sektor swasta dalam riset dan inovasi, optimalisasi anggaran pendidikan, hingga pengelolaan aset kampus secara profesional,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan. “Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan tidak ada gunanya jika harus dibayar dengan merusak masa depan lingkungan kita,” tutup Firdaus. (Hartatik)