Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dinilai dapat mengancam kebebasan akademik, merusak objektivitas ilmiah perguruan tinggi, serta menghambat proses transisi energi ke sumber yang lebih berkelanjutan, menurut akademisi dan aktivis lingkungan, dalam pernyataan pers Senin, 24 Februari.
Beberapa pasal dalam UU Minerba yang baru memungkinkan perguruan tinggi menerima manfaat langsung dari kerja sama dengan badan usaha pertambangan. Hal ini berisiko membungkam kritik akademis terhadap industri tambang serta mengarahkan penelitian ke arah yang menguntungkan kepentingan bisnis semata.
“Perubahan ini berbahaya karena perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pusat penelitian independen dan kritis malah berpotensi dikendalikan oleh kepentingan industri ekstraktif,” ujar Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari CERAH.
Pasal 51A dan 60A ayat 1 dalam revisi UU Minerba menyebutkan bahwa pemerintah akan memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau perusahaan swasta untuk kepentingan perguruan tinggi. Meskipun perguruan tinggi tidak dapat langsung memiliki izin tambang, ayat 3 dalam pasal tersebut menyatakan bahwa sebagian keuntungan dari eksploitasi tambang akan diberikan kepada kampus sesuai dengan perjanjian kerja sama.
“Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena banyak perguruan tinggi yang mengalami pemotongan anggaran operasional. Ketergantungan terhadap dana industri tambang dapat mengarahkan riset dan kebijakan akademik ke arah yang menguntungkan perusahaan tambang, bukan kepentingan publik dan lingkungan,” tambah Sartika.
Ancaman bagi transisi energi
Selain mengancam kebebasan akademik, UU Minerba baru ini juga dinilai sebagai hambatan serius bagi upaya transisi energi Indonesia menuju sumber daya yang lebih berkelanjutan. Dengan dominasi perusahaan tambang batu bara dalam kerja sama dengan perguruan tinggi, penelitian dan pengembangan energi terbarukan bisa terpinggirkan.
“Jika perguruan tinggi bergantung pada dana dari industri tambang, maka sulit bagi mereka untuk mengembangkan riset terkait energi terbarukan secara independen. Ini bisa memperlambat upaya Indonesia dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil,” ujar Sartika.
Dosen Universitas Mulawarman sekaligus anggota Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, menyoroti dua motif utama di balik perubahan regulasi ini.
“Pertama, regulasi ini adalah bentuk tukar tambah antara pemerintah dan DPR dengan perguruan tinggi. Kampus dijadikan penerima manfaat agar tidak mengkritisi kebijakan pertambangan. Kedua, perguruan tinggi dipaksa menjadi alat legitimasi bagi industri ekstraktif, sehingga seolah-olah industri tambang ini bermanfaat dan tidak bermasalah,” tegasnya.
Kembali ke era eksploitasi tambang?
Selain dampaknya terhadap akademisi dan transisi energi, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai revisi UU Minerba ini berpotensi mengembalikan praktik eksploitasi tambang yang tidak terkendali. Hal ini terutama terkait dengan adanya pasal yang memberi prioritas pemberian WIUP kepada koperasi dan UMKM.
Menurut Aryanto, mekanisme lelang dalam pemberian izin tambang sebelumnya dibuat untuk memastikan perusahaan tambang memenuhi persyaratan teknis, keuangan, dan lingkungan. Namun, dengan revisi ini, Indonesia berisiko kembali mengalami lonjakan izin tambang tanpa pengawasan ketat.
“Pemerintah dan DPR tampaknya tidak belajar dari pengalaman buruk pengelolaan pertambangan satu dekade lalu. Ribuan izin tambang diberikan tanpa memenuhi kewajiban lingkungan dan keuangan, seperti pajak, royalti, dan jaminan reklamasi. Kini, dengan adanya prioritas kepada koperasi dan UMKM, kita bisa kembali ke masa eksploitasi tambang besar-besaran tanpa pengawasan memadai,” ungkap Aryanto.
Lebih lanjut, Aryanto menambahkan bahwa hingga saat ini, publik belum mengetahui sejauh mana progres dari pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM yang diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan.
“Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas dan ketat, UU Minerba yang baru ini hanya akan memperburuk permasalahan lingkungan, menghambat transisi energi, serta mencederai independensi akademik yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan kebijakan publik,” pungkasnya. (Hartatik)
Banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)