Jakarta – Industri di Indonesia menjadi salah satu sektor utama penyumbang emisi karbon, yang pada tahun 2022 mencatatkan kenaikan emisi sebesar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai lebih dari 400 juta ton setara karbon dioksida, menurut data dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024.
Upaya dekarbonisasi sektor ini menjadi krusial untuk menekan emisi dan mencapai target pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Kepala Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha, menekankan pentingnya kebijakan pengurangan emisi yang konsisten dan inklusif dalam lokakarya “Pembangunan Kapasitas Industri, Akademisi dan Pemerintah Menuju Industri yang Hijau dan Berkelanjutan”.
“Sektor industri memainkan peran krusial dalam ekonomi, namun juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Kebijakan pengurangan emisi perlu diimplementasikan secara konsisten, inklusif, dan kuat,” ujar Apit.
Apit mengungkapkan bahwa salah satu strategi pengurangan emisi sektor industri adalah dengan penerapan nilai ekonomi karbon. Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan berbagai regulasi terkait dekarbonisasi, seperti peta jalan perdagangan karbon, Peraturan Menteri Perindustrian tentang Perdagangan Karbon, batas atas perdagangan karbon, tata laksana perdagangan karbon, dan sistem informasi terintegrasi perdagangan karbon.
“Saat ini kami tengah melakukan berbagai persiapan untuk dekarbonisasi, termasuk merumuskan peta jalan perdagangan karbon untuk industri,” tambah Apit dalam acara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Kementerian Perindustrian pada Kamis, 20 Juni 2024.
Manajer Program Transformasi Energi, IESR, Deon Arinaldo, menjelaskan bahwa sebagian besar emisi sektor industri berasal dari penggunaan energi yang didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, konsumsi energi menyumbang lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca industri, sementara limbah industri menyumbang lebih dari setengahnya. “Dekarbonisasi industri merupakan peluang bagi Indonesia untuk bergerak menuju keberlanjutan dan meningkatkan daya saing produk,” ujar Deon.
Sementara itu, Analis Energi IESR, Muhammad Dhifan Nabighdazweda, menyarankan tiga langkah strategis untuk mencapai emisi lebih rendah dan mendorong dekarbonisasi industri melalui teknologi rendah karbon. Pertama, menetapkan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik untuk semua sektor industri. Kedua, mengembangkan regulasi sertifikasi untuk produk hijau dan teknologi baru seperti hidrogen dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS).
Ketiga, memperkuat kerja sama antara industri, pemerintah, dan akademisi untuk riset teknologi rendah karbon dan pengembangan sumber daya manusia.
“Kami perlu menetapkan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik untuk semua sektor industri, mengembangkan regulasi sertifikasi produk hijau, dan memperkuat kerja sama untuk riset teknologi rendah karbon,” kata Dhifan.
Lima pilar dekarbonisasi industri
Kajian IESR mengidentifikasi lima pilar utama dekarbonisasi industri, yakni efisiensi sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, penggunaan bahan bakar dan bahan baku rendah karbon, serta pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Implementasi pilar-pilar ini perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan teknis, dengan dukungan pemerintah melalui insentif dan penelitian.
“Sektor industri sangat beragam sehingga membutuhkan solusi yang bervariasi. Pemerintah dapat mendorong penggunaan energi terbarukan melalui pemasangan PLTS atap dan memberikan insentif bagi industri yang menerapkan teknologi rendah karbon,” jelas Dhifan.
Analisis IESR menunjukkan bahwa implementasi lima pilar dekarbonisasi dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Industri dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen melalui efisiensi energi dan sumber daya.
Selain itu, biaya untuk bahan produksi yang tidak dapat digunakan kembali bisa dikurangi hingga 66 persen. Dekarbonisasi juga berpotensi menghemat biaya pajak karbon, biaya pengendalian dampak lingkungan, serta membuka peluang pekerjaan hijau.
“Industri dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen dan mengurangi biaya bahan produksi yang tidak dapat digunakan kembali hingga 66 persen,” kata Dhifan, sembari menekankan pentingnya penerapan dekarbonisasi industri.
Dengan langkah-langkah ini, sektor industri Indonesia dapat bergerak menuju keberlanjutan, meningkatkan daya saing, dan memberikan kontribusi signifikan dalam mitigasi perubahan iklim. (Hartatik)