Jakarta — UNDP, badan PBB yang menangani urusan pembangunan internasional, menyatakan bahwa solusi alami yang kerap terabaikan dalam memerangi dampak perubahan iklim—dari cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, hingga terganggunya ketahanan pangan—adalah ekosistem padang lamun dan lahan gambut.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura, dalam peluncuran Proyek ASEAN Blue Carbon and Finance Profiling (ABCF) yang digelar di Jakarta pada Rabu, 21 Mei, mengatakan bahwa, “Lamun dan lahan gambut merupakan salah satu solusi berbasis alam yang paling efektif dan terjangkau untuk mengurangi perubahan iklim”.
Berdasarkan data terbaru, Asia Tenggara menyimpan sekitar 33 persen padang lamun dunia dan hampir 40 persen lahan gambut tropis yang telah teridentifikasi. Angka ini mewakili sekitar 6 persen dari cadangan lahan gambut global.
“Ekosistem ini menyimpan karbon dalam jumlah besar. Sayangnya, pemanfaatannya masih belum optimal akibat kesenjangan teknis, pembiayaan, dan kebijakan,” ungkap Shimomura.
Di Indonesia, lahan gambut banyak ditemukan di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Satu meter lahan gambut basah dapat menyimpan 2-3 kali lebih banyak karbon dibandingkan hutan tropis biasa. Jika tetap basah dan utuh, karbon ini bisa terkunci selama ribuan tahun.
Namun ketika gambut dikeringkan atau dibakar, seperti yang sering terjadi untuk keperluan pertanian atau perkebunan, karbon dalam bentuk CO₂ dan metana dilepaskan dalam jumlah besar ke atmosfer—kontribusi besar terhadap pemanasan global.
Sementara itu, padang lamun—yang kerap disamakan dengan rumput laut meskipun berbeda secara biologis—berfungsi menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan menguncinya di akar serta sedimen laut. Lamun juga mencegah erosi pasir dan lumpur, sehingga karbon tetap terperangkap dalam sistem perairan dangkal.
“Padang lamun adalah bagian dari ekosistem karbon biru (blue carbon). Perannya sangat penting, bukan hanya untuk iklim tapi juga untuk ekosistem pesisir dan ekonomi nelayan,” tambah Shimomura.
Ekonomi Biru: Jalan tengah antara ekologi dan ekonomi
UNDP bersama ASEAN dan Pemerintah Jepang menggagas Proyek ABCF sebagai bentuk nyata pengembangan ekonomi biru—konsep pembangunan yang memanfaatkan potensi laut secara berkelanjutan. Proyek ini bertujuan menghubungkan pengukuran karbon laut (blue carbon), penyusunan kebijakan, dan skema pembiayaan yang ramah iklim.
Duta Besar Jepang untuk ASEAN, Kiya Masahiko, yang juga hadir dalam peresmian proyek tersebut, menyampaikan bahwa ABCF merupakan bentuk komitmen regional untuk melindungi laut sekaligus membangun ekonomi yang tangguh.
“Proyek ini mencerminkan komitmen mendalam kami terhadap ketahanan iklim, perlindungan ekosistem, dan kolaborasi regional. Bersama-sama kita bisa membangun platform untuk mengukur karbon biru dan mengakses pembiayaan untuk mendukung aksi iklim,” kata Kiya.
Kolaborasi regional dan ilmiah
Lebih dari 100 pemangku kepentingan dari negara anggota ASEAN, Timor-Leste, hingga mitra dialog seperti Jepang turut hadir dalam forum ini. Turut serta pula perwakilan lembaga akademik seperti Universitas Gadjah Mada, organisasi internasional seperti Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), serta mitra pembangunan dan media.
Dengan pendekatan lintas sektor dan kolaborasi antarnegara, ABCF diharapkan dapat menjembatani kesenjangan pembiayaan dan kebijakan yang selama ini menghambat perlindungan padang lamun dan lahan gambut.
Pola hujan tak menentu, suhu harian yang ekstrem, dan makin seringnya banjir rob adalah bukti bahwa perubahan iklim bukan ancaman masa depan, melainkan realitas yang tengah berlangsung. Di tengah kondisi ini, solusi berbasis alam seperti padang lamun dan lahan gambut tidak hanya penting—tapi mendesak untuk dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan.
“Ekosistem ini bukan sekadar lanskap, tapi pertahanan alami kita terhadap bencana iklim. Perlindungan mereka adalah investasi jangka panjang bagi planet dan generasi mendatang,” tutup Shimomura. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock