Jakarta – Indonesia telah mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pemain terkemuka di dunia dalam ekonomi kelautan yang berkelanjutan, menurut sebuah laporan terbaru dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Laporan berjudul “Global Trade Update: Sustainable Ocean Economy” yang dirilis pada hari Rabu, 4 Juni, menyoroti Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia dan pengekspor utama produk kelautan yang siap untuk mendukung upaya global dalam mengurangi polusi plastik dan membangun ketahanan iklim.
Pada tahun 2022, Indonesia memproduksi 9,2 juta ton rumput laut, nomor dua setelah Tiongkok, dan merupakan salah satu dari dua eksportir global terbesar untuk produk berbasis rumput laut dan ganggang pada tahun 2023. Bersama dengan Korea Selatan, Indonesia menyumbang 56 persen dari ekspor rumput laut global, didorong oleh meningkatnya permintaan internasional akan bahan alami berbasis laut sebagai alternatif pengganti plastik yang berasal dari bahan bakar fosil.
Rumput laut saat ini mewakili setengah dari produksi budidaya laut global berdasarkan volume, dengan perdagangan rumput laut meningkat hampir dua kali lipat selama dekade terakhir, dari USD 677 juta pada tahun 2012 menjadi USD 1,2 miliar pada tahun 2022. Laporan ini menyoroti peran rumput laut yang terus meningkat, tidak hanya dalam hal nutrisi dan inovasi pengemasan, tetapi juga dalam mengurangi polusi laut dan menciptakan peluang mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di negara-negara seperti Indonesia.
Meskipun memiliki peran penting, sektor rumput laut masih belum berkembang dan kurang diatur. UNCTAD memperingatkan bahwa kurangnya tata kelola, koordinasi yang lemah, dan tidak adanya standar global dapat menghambat potensi penuhnya. Untuk mengatasi hal ini, laporan tersebut merekomendasikan pembentukan Satuan Tugas Rumput Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – sebuah inisiatif di mana Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk mengambil manfaat dan memimpinnya.
Selain rumput laut, laporan ini juga menyoroti kontribusi Indonesia yang lebih luas terhadap ekonomi kelautan melalui akuakultur dan ekspor produk pengganti plastik. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menyumbang 42 persen dari ekspor global untuk produk pengganti plastik, yang tumbuh 30 persen lebih cepat dibandingkan dengan perdagangan plastik.
Laporan ini merupakan seruan bagi Indonesia dan negara-negara maritim lainnya untuk mempercepat reformasi, memperkuat tata kelola kelautan, dan membuka pembiayaan biru untuk mendukung sektor-sektor berbasis laut. Dengan jasa kelautan yang menyumbang lebih dari 60 persen perdagangan laut global, serta ancaman perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati yang terus meningkat, tata kelola laut yang berkelanjutan semakin dipandang sebagai pilar utama dalam pembangunan ekonomi di masa depan.
Temuan ini muncul menjelang Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga, yang akan diselenggarakan di Nice, Prancis, pada bulan Juni 2025. (nsh)
Foto banner: Francesco Ungaro/pexels.com