Jakarta – Organisasi sipil masyarakat Indonesia yang berfokus pada advokasi hak masyarakat, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), mengatakan bahwa transisi energi di Indonesia masih jauh dari harapan.
Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, Abdul Haris, dalam diskusi “Menakar Masa Depan Transisi Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel”, mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, izin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) justru bertambah. Padahal, pemerintah mencanangkan akan menghentikan pengoperasian PLTU lalu menggantinya dengan energi baru terbarukan (EBT).
“Terjadi peningkatan dalam penggunaan energi baru bara di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Jadi, bertentangan dengan fakta bahwa kita berupaya untuk mengurangi energi yang bersumber dari energi fosil, seperti batu bara,” ujarnya.
Selain itu, dari target pemerintah untuk membangun infrastruktur pembangkit tenaga listrik sebesar 27,28 GW dalam lima tahun ke depan, porsi EBT hanya 33%. Sisanya, 67% berasal dari pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil.
Dengan mencontohkan perizinan pertambangan yang masih tinggi, Abdul mengatakan, transisi energi justru menjadi jalan untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA).
“Faktanya, jalan panjang transisi energi menjadi sebuah mitos yang melanggengkan eksploitasi SDA. Dari sisi perizinan kita bisa lihat, total hingga 2022 ada 7.000 pengajuan izin tambang. Beberapa perusahaan pertambangan, sayangnya tidak bisa menjelaskan aktivitas pertambangan mereka karena (pemilik) tidak bisa berbahasa Indonesia,” katanya.
Ia juga mempertanyakan energi terbarukan seperti apa yang akan diutamakan pemerintah karena pembangunan energi justru lebih banyak dari batu bara.
“Kemudian, bahan bakar minyak juga masih dominan. Yang terbaru ketika dokumen taksonomi berkelanjutan Indonesia memasukkan juga nuklir dalam satu indikator energi baru terbarukan,” kata Abdul.
Padahal, Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun potensi EBT dari tenaga surya melebihi dari apa yang direncanakan pemerintah di 2024. Ia menyebutkan ada potensi EBT sebesar 3.000 GW yang bisa diproduksi dari tenaga surya, hydro, bio energi, panas bumi, hingga arus laut. Namun, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir yang tertinggi tetap batu bara.
Pembangunan PLTU baru
Menurut data Global Energy Monitor, pada 2023 ada 53 unit PLTU batu bara yang sedang dalam tahap konstruksi di Indonesia. Jika pembangunannya sudah rampung, seluruh PLTU baru tersebut diperkirakan memiliki total kapasitas 14,49 gigawatt (GW).
PLTU batu bara yang masih dalam tahap konstruksi paling banyak berada di Sulawesi Tengah, dengan akumulasi kapasitas 5,24 GW. Pembangunan PLTU baru dengan kapasitas besar juga terdapat di Maluku Utara, Banten, Sumatra Selatan dan Jawa Barat.
Menurut Global Energy Monitor, sebagian besar PLTU yang belum rampung di Indonesia merupakan pembangkit listrik eksklusif untuk memasok kebutuhan energi industri, seperti industri pengolahan aluminium, kobalt, dan nikel yang terkait rantai pasokan baterai dan kendaraan listrik. Global Energy Monitor pun mengkritisi hal ini, karena berpotensi menghambat komitmen pengurangan emisi karbon yang tertuang dalam Perjanjian Iklim Paris.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bauran EBT di Indonesia hingga akhir 2023 baru mencapai 12,2%. Angka tersebut masih jauh dari target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dan 34% pada 2030.
Staf Khusus Menteri ESDM bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan, saat ini Indonesia memiliki potensi besar EBT yang bisa dimanfaatkan yakni mencapai 3.600 GW yang dapat digunakan untuk menjaga pasokan energi, modal transisi energi, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Namun, saat ini pemanfaatannya baru mencapai 17,3 GW atau 12,2% dalam realisasi bauran EBT,” kata Irwandy dalam keterangan resmi pada pembukaan acara Indonesia Mineral and Energy Conference 2023. (Hartatik)